Rumah bergaya campuran Belanda-Tiongkok itu terbaring di Jalan Rajawali Utara. Tepatnya di belakang Rumah Tahanan Lodjie yang dulunya merupakan benteng karya Belanda bernama Fort Peccalongan. Keduanya masih berada di wilayah Jetayu alias kota lama Pekalongan, Jawa Tengah. Ditemani Trias Arditya, seorang rekan yang aktif di berbagai komunitas di Kota Batik ini, saya berkunjung kala siang menghamparkan hawa panas khas pantura yang membuat kulit membara.
Sekilas terlihat biasa namun menarik ketika kaki melangkah ke teras. Sebuah lemari kayu tua menjadi wadah berbagai perabot tua seperti guci berbagai pernak-pernik. Dindingnya pun tak luput dari foto-foto lawas. Sebuah papan besar bertuliskan ORIENTAL CAP NYONYA terpajang di belakang meja kasir. Ruang semi terbuka ini adalah sebuah kafe kecil. Lebih mirip ruang tamu yang disulap menjadi ruang semi publik. Homy sekali.
Samar dari sisi dalam terdengar suara riuh; air yang tersemprot, dentingan botol kaca dan gesekan logam. Setelah mendapatkan izin dari Tuti Marhaeni, admin merangkap pengelola kafe, saya menelisik sumber suara bersama Trias. Setiap tamu yang datang ke Pekalongan selalu ia ajak kemari. Tentu ada alasan khusus dan jawabannya di depan mata.
Awalnya berupa gudang dengan tumpukan krat dan botol kaca kosong. Lebih masuk lagi, sebuah ruangan berukuran sekitar 7 x 3 meter menjadi lokasi berlangsungnya proses produksi limun alias minuman beruap. Singkat kata rumah ini adalah pabrik kecil yang memproduksi minuman limun Oriental Cap Nyonya.
Baca juga : Telisik Kampung Canting Batik Di Pekalongan
Produksi dimulai dari mengisi botol dengan asam sitrun atau perasa buah. Botol yang telah terisi lalu dibawa ke peralatan sebelah untuk mengisinya dengan air yang sudah dicampur uap hasil karbonisasi CO2. Selanjutnya boto-botol tersebut dipasangi tutup. Wadah-wadah kaca itu lalu dimasukkan dalam krat dan disiram air. Minuman limun telah siap untuk dinikmati atau dikirim ke pembeli. Setiap yang terjadi di ruangan ini melibatkan tenaga manusia dan proses mekanik sederhana. Tak ada ban berjalan, lengan robot, alat otomatis atau peralatan canggih lain ala pabrik modern. Pekerja di ruangan ini pun tak sampai sepuluh orang.
Ceesssss.….Buih-buih putih berkerumun saat sebotol limun rasa frambos tertuang di gelas berisi es di atas meja kafe. Teguk demi teguk perlahan membasahi kerongkongan yang dahaga. Bak oase di tengah gurun nan gersang. Kalem, tak ada rasa manis yang cenderung berlebihan ala minuman bersoda masa kini. Tiba-tiba sejenak saya terbawa ke cuilan memori di masa kecil saat limun masih banyak beredar. Saya biasa membelinya dibungkus kantong plastik dari seorang penjual bersepeda yang biasa nongkrong di depan sekolah. Klasik.
Sadar memiliki nilai historis, awal tahun ini pengelola melancarkan strategi membuka kafe agar pengunjung dapat melihat langsung proses produksi dan menikmati hasilnya secara langsung. Ini sekaligus strategi baru untuk terus menyambung hidup. Berkat usaha tersebut dan publikasi di media sosial, limun Oriental Cap Nyonya masih bertahan hingga sekarang. Nasibnya masih lebih baik dibanding kebanyakan usaha sejenis yang terpaksa tutup karena menyerah dengan serangan minuman modern.
Baca juga : Nyawa Meregang Tuak Bekonang
“Nggak pakai pengawet, mas. Tapi bisa tahan sampai dua minggu,” tukas Tuti kepada saya sambil melayani pembeli lain. Atasan Tuti atau sang pemilik adalah Njo Kiem Nio alias Anna Maria. Ia adalah generasi keempat dari Njo Giok Liem merintisnya pada 1920. Namun riwayat lain menyebut usaha ini telah hadir sejak 1910.”Usia hanyalah angka tapi yang penting adalah usaha untuk meneruskan,” kata Tuti menirukan lisan atasannya, kalimat yang selalu terlontar kala disinggung tentang usia limun Oriental Cap Nyonya. Pabrik kecil ini sesungguhnya sedang bertransisi ke generasi kelima yang belum lama balik kandang dari luar negeri. Kini sang calon penerus baru saja berinovasi dengan menghadirkan kafe ini sejak awal 2017.
Era 70-80an bisa dibilang sebagai masa jaya minuman beruap lokal. Trias berkisah tentang masa kecilnya kala hampir semua rumah di Kota Pekalongan menyajikan limun Oriental Cap Nyonya sebagai suguhan kala lebaran. “Orang-orang sampai bosan karena nyaris tak ada minuman lain,” kenangnya. Saat itu Cap Nyonya bisa berproduksi sampai 300 krat per hari, sementara rata-ratanya 100 krat. 1 krat sendiri berisi 24 botol. Namun saat ini Cap Nyonya hanya sanggup menghasilkan tak lebih dari 50 krat per hari.
Membanjirnya berbagai minuman bersoda asal luar negeri perlahan mengguncang eksistensi minuman lokal. Satu per satu mulai tutup karena tak sanggup bersaing dengan merk-merk global. Minuman-minuman modern itu diproduksi secara masal berkat peralatan canggih. Bahkan beberapa membuka pabriknya langsung di Indonesia. “Tahun 2013 sempat hampir tutup”, kata Trias. “Lalu teman-teman di Pekalongan mencoba membantu dengan mengundang sejumlah komunitas dan media untuk meliput,” lanjutnya. Untunglah sejak saat itu hingga sekarang pabrik ini masih bertahan.
Kombinasi terik di luar dan suasana rumahan membuat saya dan Trias enggan beranjak. Ditemai rekan-rekan lain yang datang menyusul, tanpa peduli perut kembung kami menikmati semua rasa limun; frambos, jeruk, moka, tawar, nanas, sirsak, dan lemon. Saya paling suka nanas. Dua jam di sini tanpa kami sadari suara dari dalam perlahan meredup. Sore telah tiba. Satu per satu pekerja keluar dan berbaris rapi di depan meja admin dan Tuti mengeluarkan upah harian kepada mereka atau biasa disebut pocokan. Bersamaan dengan itu kami undur diri. Seorang rekan membeli limun dengan botolnya yang klasik itu seharga tujuh ribu rupiah. Untuk minumannya sendiri berharga lima ribu rupiah.
“Besok datang lagi ya mas,” tukas Titi saat kami pamit. ”Ada suting dari televisi Jakarta”. Sayangnya ini adalah hari terakhir saya di Pekalongan. Namun seruan perempuan paruh baya itu membuat saya beringsut dengan sedikit lega. Limun Oriental Cap Nyonya memang masih terengah-engah. Namun berkat kafe dan sosial media, sang legenda rasa terus menjaga asa melawan masa.
Jamanku kecil dulu sering minum sejenis ginian, namanya orson. Warnanya cerah, kuning, merah, hijau. Sebotol gede harganya 200 rupiah.
Aku yo ngombe orson biyen. Tapi kayaknya ga beruap tho. Btw aku lagi di jogja ini agak lama
Eunak tenan…
yhaak…sekarang tambah rame lho, ,
aseeekk
Bagus! (Y)
coba mas aan ulas batik banyumas, mendoan, dan dawet. 😀
ditunggu undangan dari tuan rumah mas Fandi
Orson memang legendaris banget, dulu inget banget pasti minum pas abis olahraga … seger
hmm…keliatan banget sih kalo dikau doyan orson.
if you know what i mean. ha2…
legend banget..pengen minum klo habis fitnes..pasti seger
ciyee yg sering pitnes
Kalo tuk sekarang ga tersedia secara Online ya Om..jadi penasaran pgn nyoba
Sepertinya belum ada. Jadi harus datang langsung ke Pekalongan
cafe nya buka dari jam brp? tutup jam brp? thx
kalo ga salah jam 10 – 16. jumat libur