Ada alasan tersendiri julukan Kota Batik tersemat pada Pekalongan. Fesyen warisan budaya nusantara itu diproduksi besar-besaran di wilayah pesisir utara Jawa ini. Tak ada angka pasti, namun beberapa rujukan menyebut lebih dari 50% batik yang beredar di Indonesia dibuat di Pekalongan, belum termasuk yang diekspor. Perajin dan penjual batik bertebaran. Tak luput usaha pendukungnya juga hadir secara masal seperti canting. Canting adalah peralatan yang dipakai untuk menempelkan malam atau lilin pada kain sebagai penutup saat proses pewarnaan. Keterlibatan canting dan malam adalah hal mutlak bagi sebuah kain sehingga layak disebut batik. In untuk membedakan batik dengan kain bermotif batik yang cara membuatnya menggunakan sablon atau printing.
Kembali ke urusan canting, Kelurahan Landungsari di sisi timur Kota Pekalongan pantas disebut sebagai Kampung Canting. Di gang-gang sempit khas wilayah padat itu puluhan usaha rumahan canting bermukim. Lokasi tepatnya di Jl. HOS Cokroaminoto, masih berdekatan dengan Pasar Grogolan. Menurut cerita rakyat yang beredar, nama kampung ini berasal dari nama Kyai Landung atau Ki Ageng Jajar Sari bin Hasan bin Malik yang hidup sekitar abad 17. Ia adalah orang yang diiyakini pertama kali membuka wilayah ini yang semula hutan menjadi tempat tinggal.
Baca juga : Setitik Asa Legenda Rasa Melawan Masa
Tak ada informasi jelas kapan Landungsari mulai bertransformasi menjadi penghasil canting. Namun yang jelas keberadaan canting sama tuanya dengan batik itu sendiri. Pekalongan sendiri mulai bergeliat sebagai pusat produksi batik di pertengahan abad 19 ditandai dengan berkibarnya pengusaha batik Tionghoa ditambah dengan gencarnya beberapa warga Belanda mempopulerkan batik buketan (pola bunga) yang sampai saat ini dikenal sebagai batik khas Pekalongan.
Menurut Faisol Rizal salah satu pemilik usaha pembuatan canting, di Landungsari terdapat sekitar 22 usaha yang tergabung dalam Paguyuban Canting Sekar Jagat yang ia ketuai. Rizal sendiri mulai merintis usaha pembuatan canting sejak tahun 2002. “Ini usaha warisan. Saya sendiri generasi ketiga”, serunya. Di Landungsari kebanyakan perajin membuat canting cap dan hanya sebagian kecil yang membuat canting tulis. Alasannya sederhana. Dalam level industri, batik cap lebih mudah dan lebih banyak dibuat daripada batik tulis. “Pekalongan ini kan lingkupnya dagang, bukan seperti Yogyakarta atau Solo yang mengedapankan tradisi”, tutur pria paruh baya itu. Rizal sendiri termasuk yang hanya memproduksi canting cap. Saat ini ia memiliki 5 karyawan dan akan meningkat sampai 10 orang saat pesanan meningkat.
Canting cap sendiri memiliki berbagai varian tergantung fungsinya. Namun secara umum pembuatannya sama. Diawali dengan membuat sliwer (rangka) dan ancak (alas). Setelah itu satu per satu potongan tembaga dibentuk dan dipasang ke ancak sesuai pola gambar yang diinginkan. Proses ini disebut nglowongi dan ngisi. Setelah selesai, ancak dipasang pada sliwer menggunakan patri lalu dibakar untuk menguatkan. Selanjutnya adalah proses akhir yaitu menata ulang dan menggosok untuk menciptakan permukaan yang rata. Penutupnya yaitu tes cap menggunakan malam.
Baca juga : Mengetuk Pintu Laweyan
Waktu yang dibutuhkan untuk membuat canting cap sekitar seminggu dengan harga rata-rata berkisar tiga ratus sampai enam ratus ribu rupiah, tergantung tingkat kerumitan pola. Ada yang berupa canting individu maupun satu set. Solo, Yogyakarta dan Pekalongan sendiri adalah daerah yang rutin memesan. Mudah diduga karena ketiganya identik dengan kultur batik. Namun yang menarik beberapa daerah juga mulai rutin mengisi daftar konsumen. “Jambi, Jakarta, Garut dan sejumlah lainnya”, ungkapnya. Fenomena ini mulai muncul saat batik santer dipromosikan sebagai budaya nasional dan puncaknya mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia dari UNESCO pada 2009. Namun secara khusus, dorongan dari beberapa pemerintah daerah setempat agar wilayahnya memiliki batik khas lokal juga menjadi poin tersendiri.
Prestis Pekalongan semakin bertambah kala UNESCO memasukkannya dalam jaringan kota kreatif dunia pada 2014. Posisinya sebagai sentra industri membuat teknik dan pola pembuatan batik di Pekalongan lebih berkembang. Selera pasar yang senantiasa beubah menuntut kreasi dan inovasi tada henti. Keberadaan Kampung Canting seperti di Landungsari ini jelas menyumbang peran penting bagi kreasi dan inovasi batik, bukan hanya tingkat lokal namun juga nasional.
Wah, jadi tau kalau ada kampung canting yang khusus bikin cap batik.
Itu ada beberapa kampung sebenarnya. Tapi yang lumayan terkenal si Landungsari itu.
Motif batiknya cakep-cakep banget 🙂
Hasil hand made yang harus teliti banget itu
adi alat untuk batik cap juga namanya canting mas? industri pendukung batik ternyata juga ada di pekalongan ya.
Yang saya tahu canting ada 2 jenis, canting cap dan canting tulis.
Pekalongan lengkap deh. Itu satu kota industrinya masal dari skala rumahan sampai pabrik ada. Industri pendukungnya juga ada semua disana.
Hmm, selama ini kupikir batik cap itu termasuk kain bermotif batik… Lali aku nek le ngecap ki yo nganggo canthing…
Haha…pokoknya disebut batik kalau ada proses pewarnaan yang melibatkan canting dan malam (lilin)
Hiyo bener… Padahal aku ngerti bedanya ngecap batik dengan printing kain hahaha… Payah deh.
Pinginlah ngelihat proses Pembuatan batik di sana.
datengin mbak, jangan ragu
selalu cinta dengan batiik dah pokoknya,,…
tapi usahakan jangan beli batik printing ya. ini penyebutan yang keliru sih sebenarnya karena sebenarnya tidak bisa dianggap batik. harusnya kain bermotif batik
Baru tau saya ada kampung khusus canting. Keren sekali bagaimana mereka membuatnya . Saya pernah nyobain menbatik canting, yang harus ditiup itu lhoo.. susah ya. Mesti steady ga boleh goyang.
Pekalongan lengkap banget deh kalo urusan batik. ada yang khusus bikin pewarnanya, malamnya, dll.
Menarik banget. Jadi melu penasaran kampung canting e. Btw, masih menyimpan penasaran kampung asal Batik Buketan peranakan Tionghoa di Kedungwuni nih. Yok diagendakan. 😀
Mending digawe liputan khusus sing in depth sih
yukk mari. aku sebaai orang Pekalongan malah belum pernah blusukan ke grogolan situ. cuma di Kauman2 wae
Wah..wah..Harus diaporkan ke bos Pekalongan mas Trias ini
Ooo jadi ini disebut canting juga ya mas? Aku pikir canting itu hanya yang biasa dipakai pada proses pembuatan batik tulis.
Aku jadi teringat pada kunjunganku ke Rumah Batik Komar di Bandung, bulan Agustus lalu. Untuk pertamakalinya aku melihat canting batik cap, dan jumlahnya pun ratusan, ditata dalam sebuah ruangan, mirip perpustakaan lah. Motifnya bagus-bagus dan menarik. Daripada batiknya, aku malah lebih tertarik untuk ngoleksi cantingnya 😀
Ada kok yang pembelinya beli canting cap sengaja bukan buat bikin batik tapi sebagai pajangan dinding
Asiiik ,,, jadi gak harus pesan ya? Ada yg udah siap dan bisa dibeli.
Tetep harus pesan. Mereka bikin cuma kalo ada pesanan.
Ooo gitu, tapi desain bisa dari mereka khan?
Bisa aja. paling tinggal ambil desain dari pesanan sebelumnya.
tapi kalo mau ngubek kreatifitas ya mending bikin desain sendiri sih
Lantas cara untuk membedakan batik hasil canting cap dan batik printing itu gimana mas?
Pertama, harus diluruskan penyebutannya sebagai kain bermotif batik. penyebutan batik printing sebenarnya keliru tapi terlanjur jadi kebiasaan. kasihan yang bikin batik beneran. Kain bermotif batik biasanya pewarnaannya hanya satu sisi saja atau kalo tembus ke belakang biasanya tipis saja, ya karena pewarnaannya disablon atau diprint itu tadi. trus tidak ada bau khasnya. batik tulis ata cap selalu ada aroma khas efek penggunaan malam. selebihnya bisa digugel yak
Beberapa kali liat proses pembuatan batik, gak pernah kepikiran gimana cara bikin cetakannya. Dan, yes! rumiiiit. Salut dengan kreativitas pembuatnya.
Hand made selalu punya nilai tersendiri
Aku baru ngeh ini perbedaan2 batik tulis, cap, dan printing setelah ke Pekalongan juga, hehe
Main ke Pekalongan lagi aja, tapi jgn rame2 kyk kmrn