Kampong Blangkon Serengan, At Glance (Secuplik Tentang Kampung Blangkon Serengan)

Serengan Quarter located on south side of city of Solo, Central Java,  might not as popular as other urban settlement such as Kauman or Laweyan. However, the narrow alleys and crowded houses presents an interesting story. The dense region is known as Kampong Blangkon, a nickname for place-based community which many of the resident make a living as blangkon artisan. Blangkon is traditional javanese headdress worn by men and made of batik fabric.

Mengetuk Pintu Laweyan

Mengetuk Pintu Laweyan

Laweyan adalah batik. Konotasi itu telah terbangun sejak lama. Apalagi selepas daerah yang berada di tepi Kota Solo itu resmi bertajuk Kampoeng Wisata Batik pada 2004. Namun seorang teman asal Solo, Halim Santoso meyakinkan saya bahwa Laweyan lebih dari sekedar batik. Sebuah bujukan tersamar. Ditemani Halim, saya pun menjajal membuktikan lisannya itu. Di luar perkiraan. Alih-alih banyak orang atau kendaraan berseliweran, kampung ini lengang untuk ukuran tempat wisata padahal saat itu hari minggu.

Sapu Upcycle, From Trash To Cash (Dari Limbah Menjadi Berkah)

Sapu Upcycle, From Trash To Cash (Dari Limbah Menjadi Berkah)

The joglo (javanese traditional house) seems to be nothing special at glance, just an ordinary house. Yet there’s something inside. Looks messy but sightly thanks for an artistic touch. The most interesting is the activity takes place. The house which located on the outskirt of Salatiga City is a workshop place for upcycling waste into products with a environmental, functional and aesthetical value. And above all, economical. Not plastic, bottle, glasses, paper nor some other material which commonly used for recycling, it’s inner tube waste.

Setumbu, Lukisan Pagi Borobudur

Sebagai candi Budha terbesar di dunia sekaligus bergelar World Heritage yang diberikan UNESCO, menjadikan candi Borobudur sebagai salah satu tujuan utama wisata di Indonesia. Mengunjungi candi yang dibangun pada abad ke 8 ini sanggup memberikan nuansa tersendiri. Selain bangunannya yang besar, hiasan 1460 relief pahatan dan 504 patung Budha turut menghadirkan rasa takjub bagi siapa saja yang berkunjung.

Borobudur juga bisa dinikmati tanpa harus mengunjunginya, dari sudut yang lain tepatnya. Candi megah nan raksasa ini dapat dinikmati dari kejauhan melalui sebuah bukit yang terletak sekitar lima kilometer sebelah barat dari candi, tepatnya di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Bukit ini terkenal dengan sebutan Punthuk Setumbu, atau cukup disebut Setumbu saja. Dari sini Borobudur yang begitu besar itu justru terlihat sangat kecil di antara rimbunan pohon dengan latar belakang Gunung Merbabu.

IMG_9023_editWM
Diawali dengan matahari terbit dari balik Merbabu
IMG_8994_editWM
Kecilnya Borobudur yang megah itu.

Saat paling tepat untuk menikmati Borobudur dari Setumbu adalah ketika fajar. Momen pembuka adalah saat matahari terbit di balik Gunung Merbabu. Dan momen utamanya yaitu siluet Borobudur diantara rimbunan pohon terbalut embun pagi dan bermandikan cahaya kuning keemasan. Jika beruntung, pengunjung dapat menyaksikan berkas garis cahaya atau yang dikenal dengan sebutan ROL, ray of light, yang menembus melalui awan. Bak lukisan alam, pemandangan ini sungguh cerminan keindahan luar biasa mahakarya Sang Pencipta.

IMG_9037_editWM
Lukisan pagi Borobudur

Memang, lukisan alam ini tak berlangsung lama, tak lebih dari satu jam setelah matahari terbit. Namun bukan berarti kenikmatan berakhir. Pengunjung tetap bisa memanjakan mata sepulang dari Setumbu. Di sepanjang jalan tersuguhkan pemandangan sawah hijau yang terhampar luas beserta rimbunan pohon. Di bagian tertentu, bahkan dengan candi Borobudur sebagai latar belakangnya. Jika beruntung, bisa ditemui sejumlah petani yang sedang menggarap sawah atau obyek-obyek lain khas pedesaan. Pemandangan ini tentu saja menarik untuk diabadikan dengan kamera.

IMG_9158_editWM
Petani sibuk dengan musim panen.
IMG_9253_editWM
Borobudur membawa berkah kesuburan bagi sekitarnya.

Untuk bisa menikmati momen indah ini memang butuh usaha ekstra. Pengunjung harus berada di Setumbu sekitar jam 4.30. Bagi yang berangkat dari Kota Yogyakarta, pengunjung harus berangkat paling lambat jam 3.30 dinihari. Ambil rute menuju Borobudur melalui Jalan Magelang. Sesampainya di Taman Wisata Borobudur, ada pertigaan ambil ke kiri. Setelah melewati gerbang hotel Manohara (sekedar info, Manohara adalah satu-satunya hotel yang terletak di dalam kompleks Borobudur), kurang lebih 200 meter pengunjung akan menemui perempatan, ambil ke kanan. Ikuti jalan ini kira-kira tiga kilometer sampai bertemu pertigaan yang di sebelah kirinya terdapat sebuah masjid. Berhenti dan parkirlah kendaraan di halaman masjid tersebut. Selanjutnya pengunjung harus berjalan kaki mendaki bukit melalui jalan setapak yang berada tepat di seberang masjid selama kira-kira 10 sampai 15 menit, tergantung kecepatan kaki. Beberapa waktu yang lalu jalan setapak ini masih berupa tanah dengan kondisi penerangan yang minim. Tapi seiring semakin ramainya tempat ini, infrastruktur jalan sudah cukup baik dengan dibangun tangga semen dan pagar pembatas. Lampu penerangannya juga cukup memadai. Namun demikian ada baiknya pengunjung tetap membawa senter untuk penerangan maksimal di tengah kondisi yang gelap. Selain itu bagi mereka yang baru akan pertama kali ke Punthuk Setumbu, disarankan untuk survei dulu sebelumnya di waktu siang minimal sehari sebelumnya agar saat pergi untuk melihat matahari terbit tidak banyak membuang waktu untuk mencari jalan, mengingat momen istimewa ini tidak berlangsung lama.

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog Visit Jawa Tengah 2015 (#BlogJateng2015) yang diselenggarakan oleh  @BlogJateng2015 dan @VisitJawaTengah, dengan tema “Cinta (Wisata) Jawa Tengah”.

Banner Lomba Utama.jpg