Bandung, the West Java capital is a communal area and popular destination at a time. It has hectic street just like other big cities. Almost no time for calmness. Hard, dusty and noisy. It is a melting pot which leads to high risk of conflict. Yet it offers living for those who made a try, the strong who dear to face the risk of working on the street. Messy weather and the ruthlessness of street are classic problem that always set to say hello at the most unexpected times. Street is no place for the faint-hearted. Here are some of the Bandung street fighters
Tag: java
Kelom Lentik Nan Menarik
Tangannya tampak terampil meliuk-liukkan canting di atas alas kaki berbahan kayu. Ardian, pemuda lokal Tasikmalaya itu sedang melukis pola di atas kelom, alas kaki berbahan kayu, kerajinan andalan kota asalnya tersebut. Sedangkan di sudut ruangan yang lain beberapa temannya sedang mengerjakan tanggung jawabnya masing-masing. Ada yang memotong alas kelom sementara yang lain menggambar pola menggunakan semprotan. Tak lama beberapa pasang alas kaki kayu ini telah berubah menjadi cantik dan siap menjalan proses berikutnya.
Selayang Pandang Pangandaran
Tahun 2006 mengubah banyak hal bagi warga Pangandaran. Bencana gempa yang disusul gelombang tsunami menihilkan apa yang telah dimiliki dan dibangun. Namun hidup terus berlanjut. Pangandaran telah lama tersohor sebagai daerah tujuan wisata dan masih demikian. Itu semua berkat beberapa hal yang tetap tak berubah, pantai dan laut. Dua hal ini masih menjadi sektor utama penggerak ekonomi bagi sebagian besar masyarakatnya.
Bekakak, A (More Than) Tradition Far Beyond The Time. (Terus Lestari Tak Sekedar Tradisi)
Once upon a time in Ambarketawang, Gamping, Sleman around 1755 Ki Wirosuto and his wife which were a royal servant at Yogyakarta Palace and also limestone miner died in an accident while working in the mine. The tragedy sadly took place for several times further. In the past many locals took a living as miners since the area was a landscape of limestone (gamping). The king Sri Sultan Hamengkubuwono I, who resided in Ambarketawang while waiting the completion of his palace, soon ordered to peform a ritual to avoid the grief continues. A procession called Saparan Bekakak held annually every Sapar month in javanese calendar or also called Safar in islamic calendar.
Meretas Konflik Melalui Seni di Biennale Jogja
“Mengingatkan saja, sih. Orang yang merestuinya jadi capres adalah orang yang sama yang dulu memutuskan duet dengan yang kalian sebut penjahat hak asasi manusia”
Begitu rangkaian kata yang tertulis di sebuah lukisan besar karya Arwin Hidayat yang terpajang di salah satu ruang pamer. Lukisan itu menggambarkan sosok pria memegang bunga yang dengan mudah ditebak adalah perwujudan presiden Indonesia saat ini. Masih di ruang yang sama, beberapa orang nampak khusyuk membaca buku yang berisi kumpulan ekspresi media sosial sang empunya tulisan pada lukisan tadi, Puthut EA, yang terkenal sebagai orang penting dibalik situs mojok.co.
Colomadu, The Forgotten Sugar (Colomadu Yang Tak Semanis Madu)
Some say, it will transformed into a modern superblock. Colomadu already found its first doom almost two decades ago. Now the ex-sugar mill which is located at Karanganyar regency, Central Java is waiting for the second one.
When The Bajingan Raise A Joy (Ketika Bajingan Melecut Kegembiraan)
The road was jammed by the parade. They were in big number and moved slowly. The narrow road became more narrow. Yet somehow many riders were willing to step aside joined with the locals and enjoy the parade especially the kids who looked so excited. “Bajingan..!! Bajingan..!!”, some shouted. Instead anger, the abuse word was in the air in happy mood. Bajingan in Indonesia refers to bastard, jerk, asshole, etc. Even some of the photographers found them self into the ditch for the sake of good angle. What a blessed bajingan.
Membaca Bumi Bersama Mata Bumi
“Makanya kalau mau beli tanah jangan ambil sisi luar tapi sisi dalam. Karena perlahan sisi luar akan hilang tergerus tekanan aliran air. Sebaliknya di sisi dalam justru akan terbangun endapan tanah karena tekanan airnya lemah”
Satu jam berlalu setelah truk sewaan dari TNI AU membawa kami berangkat dari Museum Geologi, Bandung, rombongan berhenti di sebuah tanah lapang yang oleh warga lokal disebut sebagai Candi. Lokasi ini terletak di Jalan Nengewer, Desa Dampit, Cicalengka, Kabupaten Bandung. Kami hanya singgah disini sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir di T.B (Taman Buru) Hutan Masigit Kareumbi. Hamparan sawah miring yang dibelah oleh sebuah sungai dengan sebuah gunung kecil menjadi latar belakangnya menjadi daya tarik tersendiri bagi warga sekitar dan kami tentunya. Dengan pengeras suara Titi Bachtiar yang akrab dipanggil Pak Bachtiar memanggil rombongan ke tempat ia berdiri di pinggir tanah lapang itu. Setelah semuanya berkumpul Pak Bachtiar bercerita tentang beberapa hal seputar fenomena alam yang terhampar di depan kami. Kalimat di awal tulisan ini adalah salah satu bagian pembuka ketika ia bercerita tentang Sungai Citarik bertipe meander yang membelah permadani hijau di depan sana. Meander adalah badan sungai yang berbelok-belok dengan arah belokan mencapai setengah lingkaran. Sebagai orang awam informasi ini tentu berharga bagi saya.
Masih seputar air, begitu banyak sungai yang membelah wilayah Jawa Barat. Fakta tersebut mengantarkan pada cerita berikutnya yang dituturkan oleh pria berkacamata itu. Sungai-sungai itu bagi sebagian besar kerajaan di tanah sunda di masa lalu bukan hanya menjadi sumber kehidupan tapi juga benteng alami yang melindungi wilayah kekuasaan dari serangan musuh. Oleh karena itu para penguasa sunda memerintahkan rakyatnya melakukan nyusuk, yang secara umum diartikan sebagai bermacam kegiatan memelihara sungai. Sayangnya hanya tinggal sedikit saja warga di Jawa Barat dan Banten yang masih melestarikan budaya ini.
Begitu banyak informasi terlontar dari dosen geografi di Universitas Pendidikan Indonesia itu. Sebelum kami melanjutkan perjalanan, Pak Bachtiar mengakhiri sesi dengan bertanya pada kami dimanakah lokasi di sekitar Bandung yang menjadi dasar danau purba di masa lalu. Saya sudah tahu bahwa daerah Bandung dan sekitarnya dulunya adalah sebuah kaldera atau danau vulkanis raksasa. Tak heran jika bentuk daerah Bandung seperti mangkok dan para ilmuwan menyebutnya Cekungan Bandung. Tapi dasar kaldera, tak satupun di antara rombongan yang mengacungkan tangan. Pak Bachtiar pun menuntaskan penasaran kami. Nagreg, daerah yang terkenal setiap lebaran itu adalah dasar terdalam danau purba Bandung. Di dasar danau air akan langsung masuk ke dalam tanah tanpa bisa ditahan oleh apapun. Itu sebabnya warga Nagreg saat ini cukup sering mengalami defisit air tanah.
Itulah cuplikan awal yang saya alami ketika melakukan jelajah geotrek bersama komunitas Mata Bumi. Komunitas ini berdiri pada bulan Juli 2010 dan sudah 22 kali melakukan perjalanan. Gunung Anak Krakatau, Pantai Sawarna dan Dataran Tinggi Dieng adalah beberapa tempat dengan kekayaan fenomena alam yang pernah menjadi obyek geotrek. Sesuai namanya, Mata Bumi berfokus melakukan edukasi seputar kebumian dengan mengadakan perjalanan jelajah ke tempat-tempat yang kaya dengan fenomena alam. Itu yang membuat saya tertarik mencoba bergabung dengan geotrek Mata Bumi. Tentu jauh lebih menarik ketika menikmati pemandangan alam dan mendapatkan pengetahuan tentang obyek yang dikunjungi langsung dari orang yang berkompeten. Beragam informasi ini berperan penting dalam membangun kecintaan pada alam serta menanamkan kesadaran akan pelestarian lingkungan.
Saat ini Mata Bumi dikoordinir oleh Rony Noviansyah dan dibantu oleh rekan-rekannya di jejaring Fakultas Pendidikan Geografi UPI. Pak Bachtiar sendiri menjadi penasehat komunitas ini sekaligus interpreter tetap dalam banyak kegiatan geotrek. Interpreter adalah istilah bagi nara sumber di Mata Bumi. Pembimbing dan interpreter lain yang juga sering mengisi adalah Budi Bramantyo, dosen geologi ITB. Geotrek kali ini diikuti sekitar empat puluh peserta dengan beragam latar belakang dan daerah asal. Kebanyakan dari sekitar Bandung, sesuai dengan home base komunitas ini. Tapi ada juga yang dari Jakarta. Bahkan ada pasangan ibu dan anak yang berasal dari Padang. Ada juga rombongan keluarga lengkap dengan anak-anaknya yang masih balita. Sepertinya Mata Bumi memang mendesain kegiatannya bukan hanya sebagai ajang belajar tapi juga ramah untuk berbagai usia.
Kami melanjutkan perjalanan selama setengah jam melewati jalan yang sempit dan berlubang akses menuju Hutan Kareumbi. Disana kami disambut oleh Darmanto, Wakil Direktur Lapangan T.B Kareumbi. Selain perkenalan ia juga menyampaikan informasi seputar tempat yang menjadi kantor sekaligus rumahnya setiap hari. Mulai dari status Kareumbi sebagai taman buru yang memungkinkan orang untuk berburu hewan secara resmi dengan persyaratan tertentu hingga tempat persembunyian Kartosuwiryo, pemimpin pemberontakan DI TII yang berada di di zona hutan dalam. Rimba yang berada di wilayah tiga kabupaten Garut, Sumedang dan Bandung ini di bawah tanggung jawab Wanadri dan BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam). Menurut Darmanto, salah satu program andalan Wanadri dalam rangka mengelola hutan seluas 12420 hektar ini yaitu ekowisata. Program ini memungkinkan pengunjung umum untuk berwisata dan bermalam di camping ground atau rumah pohon, seperti yang kami lakukan sekarang. Wali pohon juga menjadi andalan yang lain. Dalam program ini seseorang dapat menanam pohon dengan membayar nominal lima puluh ribu rupiah per pohon yang digaransi selama tiga tahun. Selama waktu tersebut pihak pengelola Kareumbi bertanggung jawab dalam kelangsungan hidup pohon tersebut.
Walaupun memiliki interpreter resmi namun dalam kegiatan geotrek Mata Bumi semua orang bisa menjadi nara sumber. Itu terjadi dalam kegiatan kali ini ketika salah seorang peserta bernama Wa Ode Hamsinah Bolu atau yang akrab dipanggil Bu Inan berbicara di depan rombongan untuk berbagi ilmu yang dimilikinya sebagai pegawai Kementrian Kehutanan. Salah satu informasi yang menarik adalah adanya salah arah yang terjadi dalam program penghijauan. Adanya pohon pinus yang tumbuh di Indonesia adalah salah satu contoh. Tanaman ini berasal dari daerah subtropis dan di masa lalu seolah dipaksakan untuk tumbuh di Indonesia. Akibatnya penghargaan pada vegetasi lokal berkurang. Selain itu daun pinus banyak mengandung zat lilin. Alih-alih baik bagi tanah, daun pinus yang jatuh justru membuat tanah di sekitarnya menjadi kurang subur.
Hal mirip juga terjadi di rehabilitasi kawasan bencana. Seharusnya tanaman yang ditanam untuk mengembalikan kondisi tanah adalah flora endemik atau tanaman asli daerah tersebut. Namun karena hanya demi mengejar keprakitisan semata justru tanaman lain yang digunakan untuk penghijauan. Misalnya terjadi di kawasan bekas bencana letusan Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta dan sekitarnya. Akasia yang bukan tanaman asli daerah sekitar Merapi ditanam untuk rehabilitasi tanah. Akasia memang dapat tumbuh dengan cepat di daerah kritis sehubungan dengan sifatnya sebagai tanaman perintis. Namun efek sampingnya dalam waktu relatif singkat tanaman ini mengekspansi lahan yang cukup luas. Akibatnya tanaman lain termasuk tanaman endemik tidak dapat tumbuh dengan baik. Berkat penuturan Bu Inan tersebut saya menjadi paham bahwa ternyata tidak semua tanaman bisa dimanfaatkan bahkan untuk tujuan yang baik sekalipun. Karena tiap tanaman memiliki sifat dan karakteristik tersendiri.
Lepas ashar kami dukumpulkan lagi di tengah-tengah camping ground. Kali ini oleh Djuandi Gandhi yang akrab disebut Pak Djuandi, yang sehari-hari berkarya di Herbarium Laboratium Biologi ITB. Pria paruh baya ini mengajak kami tur berjalan kaki mengikuti jalan setapak masuk lebih dalam ke area hutan sambil menerangkan berbagai jenis tumbuhan yang ditemui sepanjang perjalanan. Dari Rony saya tahu inilah untuk pertama kalinya Mata Bumi menggandeng nara sumber di luar ilmu geografi dan geologi dengan pertimbangan ilmu biologi juga masih merupakan bagian besar dari ilmu kebumian. Bagaimana pun juga jenis tanaman yang tumbuh di suatu wilayah pasti dipengaruhi oleh faktor geologi daerah tersebut. Jika geologi dan geografi membahas isi bumi maka biologi mempelajari kulitnya, begitu kata Pak Djuandi mengawali sesinya.
Baru beberapa langkah ahli biologi itu meminta kami berhenti sementara ia memetik biji-bijian kecil berbulu yang berwarna hitam keunguan dari sebuah tanaman yang tingginya sekitar satu meter lantas memakannya. Saya dan sebagian rombongan merasa familiar dengan biji-bijian itu namun belum pernah memakannya. Beberapa di antara kami ikut mencicipi dan ternyata rasanya manis agak sepat. Pak Djuandi menyebutkan sebuah nama latin, Clidemia hirta. Kami hanya saling pandang lalu membuang muka ke arah nara sumber berharap ia segera menuntaskan penasaran. Ia menyebut sebuah nama lalu sebagian dari kami mulai menganggukkan kepala. Harendong bulu, begitulah sebutan lokal tanaman ini di tanah Sunda. Tanaman ini banyak tumbuh di daerah tropis termasuk di Amerika Selatan, Asia dan Afrika. Kandungan gula dan dapat langsung dimakan adalah dua faktor kenapa biji tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi mereka yang sering menjelajah ke dalam hutan. Rasa manis sepat ini muncul karena kandungan asam tanin dalam biji harendong. Berkat asam ini juga harendong juga bisa dimanfaatkan sebagai penghilang rasa pahit. Anehnya biji tanaman yang juga populer dengan istilah black berry dalam bahasa Inggris ini justru beracun bagi sebagian hewan.
Begitu banyak informasi seputar dunia tanaman sepanjang dua jam kami berjalan kaki. Selain harendong yang sudah diceritakan di awal, ada juga contoh menarik tanaman yang diremehkan karena banyak tumbuh liar di tepi jalan namun sebenarnya memiliki manfaat sebagai obat sakit kepala. Tanaman tersebut yaitu Sida rhombifolia atau sebutan lokalnya sadagori. Pak Djuandi mengakhiri sesinya dengan menunjukkan sebuah tanaman yang menjadi muasal nama hutan ini, Homalanthus populneus alias kareumbi. Tanaman ini juga memiliki sebutan lain sesuai dengan daerah tumbuhnya seperti ludahi di Bangka, jarak pati di Jawa Tengah atau simahuri di Ambon. Pohon kareumbi dulu banyak tumbuh di kawasan ini dan daunnya memiliki khasiat utama untuk mengobati luka luar, begitu terang Pak Djuandi.
Malam harinya kami mengisi waktu istirahat dengan acara api unggun dan permainan sederhana. Esok harinya kegiatan diawali dengan pelatihan dasar orientasi peta menggunakan kompas. Pelatihan ini bertujuan untuk mengenalkan keahlian navigasi dasar yang sangat penting bagi mereka yang banyak beraktifitas di alam bebas. Rangkaian terakhir kegiatan geotrek kali ini diisi dengan kunjungan ke penangkaran rusa yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat berkemah. Sebelumnya tak lupa kami memunguti sampah yang berada di lokasi berkemah sebagai bentuk aplikasi edukasi ilmu kebumian yang paling dasar. Di tempat penangkaran kami menjumpai belasan ekor rusa yang ditangkarkan sebelum dilepas ke habitat aslinya. Satu jam berada disini akhirnya kami kembali ke lokasi parkir truk yang akan membawa kami kembali ke Bandung. Saya sangat menikmati akhir pekan kali ini bersama Mata Bumi. Beberapa rekan lainnya terutama yang membawa anak-anaknya bahkan sudah menanyakan kapan kegiatan seperti ini diadakan lagi. Bukan hanya jalan-jalan menikmati alam, tapi adanya unsur edukasi yang membuat perjalanan ini lebih menarik dan membedakan dengan open trip lainnya. Dengan adanya informasi dan edukasi kebumian yang diberikan langsung di alam bebas mampu membuat manusia lebih mencintai dan melindungi bumi, satu-satunya planet yang menjadi fitrah sebagai tempat tinggal manusia. Jelas ini bukan jalan-jalan biasa, setidaknya bagi saya.