Once upon a time in Ambarketawang, Gamping, Sleman around 1755 Ki Wirosuto and his wife which were a royal servant at Yogyakarta Palace and also limestone miner died in an accident while working in the mine. The tragedy sadly took place for several times further. In the past many locals took a living as miners since the area was a landscape of limestone (gamping). The king Sri Sultan Hamengkubuwono I, who resided in Ambarketawang while waiting the completion of his palace, soon ordered to peform a ritual to avoid the grief continues. A procession called Saparan Bekakak held annually every Sapar month in javanese calendar or also called Safar in islamic calendar.
The essence of the ritual is immolation of a bekakak, character figure of a traditional javanese bride made from sticky rice and palm sugar syrup. Over hundred years the tradition still preserved by the locals. Even since long now Bekakak serves as an free entertainment as the tradition came along with art and culture parade. As a result the event became a tourist attraction and promotion to the locals.
All of sub-district of Ambarketawang sent their group performers to join the show. Most dressed up as royal brigade. Genderuwo (giant monster figure) and gunungan (cone-shaped offering) also took a part as usual. The gunungan itself was presented by the vendors association at the local market and shared to crowd along the route. The 2015 Saparan Bekakak which held on 27th September ago also participated by many cultural community from various regions, some even from outside Sleman. There were 45 groups in total joined the parade.
The parade obviously brought a joy but in other hand a heavy duty for traffic policeman since the parade partly took Jalan Wates, which an interstate as the route. The road was filled up with mass and long queues of heavy vehicle. There was no doubt most of driver likely complained about the situation but they could not do nothing even to speak up a protest. It was simply because the prestige of Bekakak in consequence of the long years of the ritual compare to Jalan Wates as interstate, even the life of the state itself.
***
Alkisah sekitar tahun 1755 di daerah Ambarketawang, Gamping, Sleman, sepasang penambang batu gamping yang juga abdi dalem kraton Ngayogyakarta yaitu Ki Wirosuto dan istrinya meninggal karena kecelakaan ketika bekerja. Peristiwa serupa juga sempat terulang lagi beberapa kali. Dulu banyak warga setempat yang memang berprofesi sebagai penambang batu gamping karena daerah ini dikelilingi perbukitan Gamping. Sang raja Sri Sultan Hamengkubuwono I yang saat itu sedang berkediaman di Ambarketawang karena menunggu selesainya konstruksi bangunan kraton menyuruh warganya melakukan suatu ritual adat untuk menghindari musibah berlanjut. Akhirnya sebuah prosesi yang disebut Saparan Bekakak pun dihadirkan setiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa atau Safar dalam penanggalan Islam.
Inti dari ritual tersebut adalah mengorbankan bekakak, yaitu karakter figur sepasang penganten jawa yang terbuat dari tepung ketan dan berisi sirup gula jawa. Seiring berjalannya waktu tradisi ini terus dilestarikan oleh warga Gamping, bukan hanya para penambang gamping tapi juga warga yang berprofesi lain. Bahkan sudah sejak lama Bekakak kini juga berfungsi sebagai acara hiburan dengan diadakannya pawai seni budaya yang turut mengiringi. Secara langsung acara ini menjadi daya tarik wisata dan ajang promosi potensi desa setempat.
Seperti penyelenggaraan sebelumnya, Bekakak diikuti oleh perwakilan seluruh dusun di Ambarketawang dengan mengirimkan kelompok seni. Sebagian besar berdandan sebagai prajurit keraton. Yang tak pernah tertinggal juga adalah gendruwo alias ogoh-ogoh dan gunungan yang terbuat dari hasil bumi persembahan perwakilan pedagang di Pasar Gamping. Gunungan tersebut dibagikan pada penonton di sepanjang jalur pawai yang mengambil rute dari Lapangan Ambarketawang sampai Gunung Gamping. Saparan Bekakak tahun ini yang berlangsung pada tanggal 27 September lalu juga dimeriahkan dengan kehadiran komunitas seni budaya dari berbagai daerah di luar Gamping, bahkan ada yang datang dari Bantul. Total ada sekitar 45 grup turut serta di penyelenggaraan tahun ini.
Dan seperti biasanya, selain membawa kemeriahan pawai ini juga memaksa petugas kepolisian bekerja lebih keras menertibkan lalu-lintas. Ini lantaran sebagian rute karnaval menggunakan Jalan Wates yang berstatus sebagai jalan nasional. Antrian kendaraan besar seperti bus dan truk yang membentuk parkir massal pun tak terelakkan. Mungkin banyak pengguna jalan mengeluh tapi sepertinya mereka tak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk protes sekalipun. Itu karena pamor Saparan Bekakak yang begitu besar sehubungan dengan usia acara ini jauh lebih tua dibanding status Jalan Wates sebagai jalan nasional, bahkan jika dibandingkan dengan umur republik ini.