Sebelumnya: Sejumput Kisah Negeri Daun Emas (bag. 1)
Kahar Muzakir mungkin adalah sosok yang paling mafhum perkara tembakau Jember. Saya sempat bersua sesaat di pabrik cerutu miliknya di Jubung. Ia masih tampak gesit untuk ukuran usia 80 tahun. Suara berat dan gaya bicaranya menyiratkan pengalaman dan pengaruhnya yang besar. Maklum, ia terlibat dunia pertembakauan sejak 1958 saat terjadi nasionalisasi sejumlah aset perusahaan Eropa menjadi sebuah BUMN yang kini disebut PT Perkebunan Nusantara. Ia bahkan pernah menjadi direktur PTPN XXVII lalu mengundurkan diri karena mengurus perusahaan tembakaunya sendiri yang berdiri sejak 1990.
“Saya tidak terlalu risau dengan isu kesehatan. Lebih mengkhawatirkan masalah impor tembakau. Bebas pajak tapi yang lokal malah cukainya tinggi. Perusahaan punya modal besar bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan petani?” Obrolan singkat kami diawali dengan kegelisahannya. ”Cerutu sekarang sedang prihatin,” topik beralih. ”Harganya mahal sementara ekonomi dunia lesu, permintaan menurun. Selera bergeser ke cerutu kecil yang lebih murah atau rokok sekalian. Sementara cerutu besar harganya dibanting sehingga mengorbankan kualitas. Kondisi cuaca yang makin tak terprediksi dan kampanye anti tembakau di sejumlah negara menjadi tantangan lain,” tambahnya.
Namun Jember masih beruntung daripada Deli dan Klaten sebagai sesama penghasil tembakau cerutu. ”Na Oogst di sana turun drastis. Perusahaan lebih banyak menguasai sehingga peran petani kecil. Tembakau juga makin ditinggalkan. Di Deli misal, karena ada pilihan lain yang lebih menarik seperti kelapa sawit. Di Jember beda. Petani masih banyak menguasai lahan dan tidak ada pilihan lain yang menyaingi. Tembakau sudah mendarah daging dari rakyat sejak lama,” ujar Kahar. Bisa dimengerti jika Na Oogst lantas identik dengan Jember. Angka fantastis bahkan dicetak pada 2009 lalu saat Na Oogst menyumbang nilai ekspor bagi Jember senilai USD 118 juta. 90% Na Oogst asal Jember memang untuk pasar global.
Di akhir perbincangan, sebagai seorang ahli tembakau Kahar menyiratkan keraguan untuk mewariskan pengetahuannya. ”Pemerintah sendiri terus mendengungkan bahaya merokok. Ini dilema. Saya tidak mau disalahkan. Jadi kalau mau belajar jangan ke saya. Yang lainnya saja,” pungkasnya. Pernyataan yang mengundang pertanyaan, akan seperti apa masa depan tembakau Jember.
Pamor Nicotiana tabacum di Jember tak diraih dalam sekejap. Banyak referensi melafalkan George Birnie sebagai pionir saat mendirikan perusahaan tembakau di Jember bernama Landbouw Maatscappij Oud Djember atau LMOD pada 1859 bersama dua rekan yang lain. Menurut sejarawan (alm) Edy Burhan Arifin dalam penelitian berjudul Emas Hijau di Jember; Asal-Usul, Pertumbuhan dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat 1860-1980, saat itu Birnie masih bekerja sebagai controleur yang bertugas menjalankan perkebunan milik Pemerintah Hindia Belanda. Ia lalu berpaling karena mengendus peluang bisnis perkebunan particulier (swasta).
Sampai 1870 ada 4 perusahaan privat di Jember yang saat itu masih bagian afdeling dari Kerasidenan Besuki. Sebagai perintis mereka sering disebut sebagai Toean Ladju (tuan lama). Pasca 1870 jumlah pemodal bertambah hingga lebih dari 20 seiring harga tembakau yang terus melonjak, 76 sen per pon pada 1861 dan 145 sen pada 1871. Orang Madura yang telah banyak menetap di Bondowoso hijrah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan dalam jumlah besar. Mereka mengajak serta orang terdekat di tempat asal Pulau Madura. Sebuah tawaran mudah karena Jember terlihat menjanjikan ketimbang Pulau Madura yang gersang. Migran Madura ini lalu banyak berdiam di utara yang salah satunya berpusat di Kalisat.
Selanjutnya orang Jawa mulai direkrut karena lebih mudah diatur. Mereka mayoritas berasal dari daerah seperti Ponorogo, Pacitan sampai Kediri. Suku Jawa ini banyak mendiami Jember selatan yang berpusat di Ambulu. Arus migrasi tersebut membentuk wajah demografi Jember hingga sekarang. Madura dan Jawa mendominasi. Wajar budaya dari kedua daerah juga lazim dijumpai di Jember seperti reog dan musik patrol. Asimilasi ini menghasilkan budaya baru yang oleh warga Jember disebut Pandhalungan, dari kata dhalung yang berarti periuk atau tempat bercampurnya banyak hal.
Tak ayal jumlah penduduk Jember meledak dalam tempo singkat. Sekitar 9000 jiwa pada 1845 dan membumbung sampai sejuta lebih di awal abad 20. Tembakau berperan vital di dalamnya. Jalur rel dari Jember ke Panarukan, mati sejak 2004, juga dibangun demi mempercepat pengiriman mbako ke pelabuhan Panarukan untuk kemudian diekspor ke Eropa. Jalur ini dibuat pada 1893, satu dekade lebih awal dibanding rute Jember-Banyuwangi yang kini masih aktif. Akhirnya pada 1 Januari 1929 Pemerintah Hindia Belanda mengubah status Jember menjadi kabupaten mandiri yang dipimpin seorang bupati. Titimangsa itu hingga kini diperingati sebagai hari lahir Jember.
Di Ambulu saya bertemu Enys Kartika, seorang penari dan tokoh kesenian Jember. “Lahbako dulu diciptakan oleh maestro tari Bagong Kussudiardja pada tahun 1980an. Waktu itu ia diminta oleh pemerintah setempat untuk menciptakan bentuk kesenian yang mencitrakan Jember sebagai negeri sata,” tutur perempuan kelahiran 1975 itu.”Maka terciptalah Lahbako yang gerakannya merefleksikan proses bertani tembakau. Lahbako sendiri berasal dari kata ngolah mbako.”
Namun Enys mengakui, tari ini gaungnya kurang lantang. ”Mungkin karena bukan murni dari masyarakat. Penciptanya juga bukan orang Jember walau seorang legenda.” Selama di Jember saya memang belum pernah melihat Lahbako. Sekalipun ada acara yang berkaitan dengan tembakau hanya sebatas syukuran biasa. Tari ini sepertinya lebih sering dipentaskan dalam kegiatan resmi seperti pembukaan perusahaan tembakau, acara pemerintahan atau seremonial lainnya. Lahbako adalah contoh anomali kesenian yang umumnya lahir dari interaksi manusia dengan alamnya.
Masih di Ambulu, saya melihat pengaruh lain tembakau kala bertemu dengan pasutri Imam Syafii dan Lestari Kusumawati. Mereka memiliki usaha Batik Rezti’s yang dimulai sejak 2011. Keduanya menjadikan daun tembakau sebagai pola pada batik produksi mereka. ”Sebenarnya ada juga kopi, kakao dan lainnya,” kata Imam. ”Tapi motif mbako paling banyak dibuat karena menjadi ikon Jember.”
Status batik sendiri terangkat sejak diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada 2009. Banyak pemerintah daerah ikut bergerak dengan mendorong usaha batik lokal, salah satunya menciptakan pola batik khas daerah. ”Itu cukup menolong. Kami pernah diberangkatkan ke beberapa kota sentra batik untuk belajar langsung,” lanjut pria 46 tahun itu. ”Motif komoditas agrikultur terutama tembakau menjadi pilihan kami”. Rupanya si daun emas juga memiliki multiplier effect bagi perekonomian.
Baca juga : Telisik Kampung Canting Batik
Jember telah lama tersihir oleh tembakau. Pasang surut berlanjut namun setelah puncak kemasyhuran di era 1980an sata belum pernah benar-benar berjaya kembali. Sebaliknya ironi justru makin menghiasi sepak terjangnya. Tembakau memutar ekonomi sekaligus kontroversi. Isu kesehatan dan nasib pekerja santer bergema. Sementara dalam satu dekade terakhir harum kabupaten ini justru menyeruak dari dunia yang berbeda, seni dan wisata. Jember Fashion Carnaval adalah contoh nyata Jember tengah berubah seiring derasnya arus informasi. Angin semilir kembali membelai wajah saya saat satu pertanyaan membuncah. Mampukah si daun emas terus memeluk Jember terutama anak mudanya yang makin berlimpah mimpi?
Apil lee..
pasti lah. kayak ga tau kualitas guwa aja.
keluar dari mulut elji, masuk mulut siapa sekarang ente?
Hebat juga ya dari tembakau bisa jadi tarian bahkan motif untuk batik.
Rasa-rasanya tren penjualan tembakau ini kian menurun karena kampanye bahaya rokok yang juga mulai digalakkan pemerintah. Dan sebelum benar2 punah atau langka, perlu ada pemikiran ke depan mengenai pekerjaan pengganti bagi para petani tembakau.
Apa pikiran saya kejauhan ya?
Datanya ga jelas sih. Ada yang bilang menurun atau sebaliknya.
Tapi yang kamu pikirkan ga kejauhan kok. Sudah dipikirkan sejak bertahun-tahun yang lalu sebenarnya. Kata kuncinya adalah diversifikasi produk olahan tembakau. Bagaimana caranya agar tembakau ga cuma jadi rokok.
Aku yang kurang cermat membaca apa ya? Belum ngeh selain dari bentuk daunnya antara tembakau Kesturi denga tembakau Na Oggs. Kegelisahan Pak Kahar jadi renungan kecil sore ini, ketika tembakau menjadi barang yang berbahaya bagi kesehatan, apakah semua ini akan jadi legenda saja nantinya.
Emang harus liat langsung sih biar keliatan bedanya. Tapi yang paling umum, yang Na Oogst tumbuhannya lebih tinggi dibanding kasturi, bisa lebih dari 2 meter di masa puncaknya. Kasturi di bawah itu. Terus juga terlihat lebih lebat. Sepertinya daunnya lebih banyak.
Mencium dari obrolan dengan Pak Kahar, industri tembakau sekarang lebih sebagai bertahan hidup alih-alih berinovasi menggapai kejayaan (lagi).
Angle fotonya apik, Mas. Lafff!
terima kasih