Siang itu angin semilir membelai lembut wajah kala saya melintas aspal antara Kalisat dan Mayang. Roda dua melaju lambat dan helm sengaja dilepas demi khusyuk menghirup semerbak wangi yang mengudara. Harum itu berasal dari daun tembakau yang dijemur di banyak halaman rumah. “Mungkin di Jember dulu lapangan dibuat bukan untuk bermain bola tapi menjemur tembakau ya. Haha,” kelakar Rochim yang tengah menjemur tembakau di sebuah lapangan sepakbola sampai meluber ke tepi jalan. ”Waktu masih kecil hampir tak mungkin main bola saat musim tembakau. Tidak ada tempat dan nyaris tiap hari membantu orang tua atau tetangga yang sedang panen,” lanjut pria 45 tahun itu.
Rochim yang memimpin kelompok tani tembakau di lingkungannya menjelaskan sebanyak 20 atau hampir setengah total jumlah anggota tidak menanam tembakau tahun ini. “Saya juga hampir tidak mbako tahun ini. Cuma karena malu saja. Masak sebagai ketua tidak ikut menanam. Haha…,” ia kembali terkekeh. Sambil mengawasi pekerja perempuannya nyujen, menusuk daun tembakau sebelum dikeringkan, Rochim melanjutkan kisahnya.”Banyak yang masih takut. Kami dihajar dua tahun kemarin,” jelasnya. “Tapi alhamdulilah tahun ini bagus. Tembakau kasturi saya laku rata-rata 5,5 juta rupiah per kuintal untuk kualitas terbaik. Tahun lalu setengahnya saja untung. Paling parah dua tahun sebelumnya.”
Debu erupsi Gunung Raung menjadi biang mala pada 2015 lalu terperosok karena hujan berkelamaan di 2016. Beberapa petani sampai menjual barang berharga demi bertahan hidup. Menanam sata adalah perjudian. Tembakau sangat peka terhadap lingkungan sehingga harga tingginya sepadan dengan biaya produksi. Musim hujan menjadi dadu penentu nasib. Kini 2017 adalah momen penebusan. Jumlah penanam tembakau yang berkurang dan cuaca yang ramah melambungkan harga.
Baca juga : Jember Negeri Pandhalungan
“Tahun ini petani menang. Kemarin bahkan saya membeli sampai 6 juta per kuintal”, jelas Hasan Mufti, seorang blandhang alias makelar tembakau di rumahnya merangkap tempat penimbangan di Pakusari. Sore itu beberapa mobil bak terbuka bermuatan tembakau kering terparkir di depan rumah sampai membuat macet jalan. ”Modal saya hampir habis. Tapi tak apa, demi petani. Toh nanti saya juga dapat harga tinggi dari perusahaan.”
Pria 60 tahun itu menggeluti profesi sebagai makelar sejak masih remaja. “Keasyikan sampai tidak lulus SMA,” kenangnya. ”Waktu itu tahun 80an ada saudara langsung bangun rumah setelah panen. Godaannya besar.” Tembakau menjadi penghidupan di keluarga Hasan sejak lama. Ayah dan kakeknya adalah penanam sata. Hanya ia saja yang menjadi makelar dan pilihannya selalu tembakau kasturi yang memang banyak tumbuh di sisi utara. Kasturi sendiri adalah sebutan lokal bagi tembakau rokok di Jember.
“Sayang, dua anak saya tidak ada yang mau meneruskan. Padahal dulu sering ikut bantu,” keluhnya. Rupanya tembakau bukan cita-cita penerus Hasan yang kini sibuk dengan jalannya masing-masing. “Saya sedih tapi paham. Mereka punya pilihan sendiri. Lagipula tembakau makin menurun. Rokok juga makin dibenci. Yang penting kelak mereka jangan sampai lupa, tembakau pernah menghidupi keluarga,” seru Hasan dengan aksen Madura yang kental.
Berkeliling Jember menyadarkan saya, bekas wilayah Karesidenan Besuki di masa lalu ini dikepung oleh gudang tembakau dari berbagai penjuru. Dari peninggalan abad 19 sampai yang baru, dari masih aktif sampai mirip lokasi uji nyali. Di jalan juga sering nampak hilir mudik angkutan tembakau, dari gerobak sampai truk. Pantas memang Jember dikenal sebagai kota tembakau. Bahkan pemerintah daerah dan universitas negerinya memakai daun sata sebagai lambangnya. Anehnya tak sekalipun saya melihat tengara visual sebagai justifikasi label tersebut. Museum Tembakau yang berada di pusat kota mungkin bisa menjadi rujukan. Namun saat saya melawat ternyata sedang direnovasi.
Suasana berbeda menyapa saya saat roda dua menyusur sisi selatan dari Puger, Ambulu, sampai Tempurejo. Lanskapnya landai dan jarang terlihat jemuran tembakau meski masih mudah mencium harumnya. Pagi itu di Tamansari ladang tembakau terhampar sejauh memandang. Semburat tipis Gunung Argopuro dan Semeru nampak di sisi utara dan barat. Tembakaunya agak berbeda. Pohonnya lebih tinggi sampai dua meter dengan daun lebih lebar dan tipis. Saya menghampiri barisan petani yang menembus kabut pagi menuju ke ladang.
”Panen Na Oogst pertama sudah terjual semua. Harganya bagus. Panen 15 kuintal, kualitas yang top 3 kuintal dapat harga 12 juta, sisanya 9 juta,” tukas Takat pemilik tembakau. Besuki Na Oogst adalah nama yang tersemat sejak abad 19 pada tembakau cerutu di Jember. Pamornya agung di kancah global walau belum menyalip Havana yang masih berstatus sata cerutu terbaik di dunia.
Hari itu jadwal Takat memetik daun atas. Setelah 2 bulan berladang, tembakau mulai dipanen dalam 7 kali petikan dengan jarak sekitar 3 hari antar petikan diawali dari bawah. “Ini yang bikin mahal. Namanya lelet,” Takat meminta saya memegang selembar daun tembakau dan terasa lengket. “Kata seorang penyuluh pertanian, getah di permukaan daun ini berpengaruh pada rasa dan kekuatan daun. Makin lengket makin bagus,” ujarnya sambil menunjukkan jari-jarinya yang kehitaman karena sering memegang daun tembakau. Dua jam berlalu dan mobil bak terbuka berisi tumpukan daun tembakau yang dikendarai Takat meninggalkan ladang.
Mobil masuk ke dalam perkampungan dan berhenti di sebuah gudang pengeringan yang terbuat dari bambu dan beratap ijuk. Tingginya sekitar 10 meter dan panjang 40 meter. Ada lima bangunan serupa di sekitar. Takjub rasanya mengetahui konstruksi tradisional seperti ini masih sama sejak abad 19 walaupun dibangun berulang-ulang. Di dalamnya daun tembakau tergantung memenuhi langit-langit. Warna hijau, kuning dan coklat menandakan tingkat kekeringan daun. Sedap yang begitu nyata di depan hidung membuat saya seperti ingin menjilati. Aroma manis itu mengelabui otak. Sementara itu beberapa wanita tengah nyujen tembakau yang dipetik sebelumnya. Satu tali sujen berisi sekitar 20 lembar daun. Lebih dari sekedar bekerja, bagi kaum wanita aktifitas ini menjadi ajang komunal seperti arisan sekaligus bergosip.
Menjelang tengah hari nyujen selesai. Giliran kaum pria kembali bekerja. Dua pekerja dengan cekatan memanjat tiang bambu sampai paling atas. Seolah melihat atraksi ketangkasan, tanpa alat pengaman tentunya. Mendebarkan. Sementara itu di bawah, Takat mengatrol ikatan tembakau ke atas lalu dua orang tersebut mengikat ujung tali pada bambu. Aktifitas ini disebut nyigir. “Jam 7 malam nanti kami mau ngopen,” kata Takat. Ngopen, dari kata mengoven, adalah mengeringkan tembakau dalam ruang tertutup.
Malamnya saya datang saat Takat tengah membakar bonggol jagung di lantai gudang yang gelap dan lembab. “Ini untuk daun yang sudah mulai kering karena panasnya lumayan. Kalau yang masih hijau pakai jerami. Tidak ada api, hanya asap. Jadi daun tidak rusak,” jelasnya. Kami lalu duduk dan berbincang di sebuah dipan. Angin malam menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bambu, membuat saya sesekali bergidik. Namun temaram nyala api dan secangkir kopi cukup menghangatkan suasana. Sejenak terpikir aktifitas seharian ini sangat otentik dan menarik sehingga bisa menjadi daya tarik wisata.
”Kita dipinjami modal awal dan hasilnya pasti dibeli,” ungkap ayah 3 anak tersebut yang tahun ini bermitra dengan perusahaan. ”Tapi tidak enaknya kita tidak bebas. Perusahaan banyak maunya, kadang sampai hal sepele.” Ia bercerita pernah ada kunjungan dari perusahaan mitra bersama pembeli luar negeri. ”Bule-nya marah-marah karena ikatan tembakau saya tidak rapi,” tambahnya. ”Uang pembelian juga tidak cair seketika. Harus menunggu beberapa hari lewat transfer bank. Hal sebaliknya berlaku jika petani menjual pada blandhang.
Takat berbudidaya tembakau karena warisan, seperti umumnya petani di Jember. Mereka sadar menanam sata adalah pertaruhan namun sulit berpaling. Tembakau adalah satu-satunya kesempatan untuk mengangkat perekonomian. ”Pedesan (cabai) saja paling mahal cuma setengah harga Na Oogst. Yang lain itu untuk hidup sehari-hari. Tapi tembakau itu untuk naik haji, bangun rumah, kawinan anak dan lain-lain”, tutup Takat sebelum saya pamit.
Di gudang sortir PT. Pekerbunan Nusantara X di Ajung, saya melihat sendiri tembakau dijuluki sebagai daun emas. Selain harga juga karena warnanya kuning kecoklatan seperti emas. Di gudang yang memiliki 1200 pekerja itu, Besuki Na Oogst yang telah matang siap dijual. “Kualitas terbaik per kuintal harganya 5000 euro atau sekitar 75 juta rupiah. Kami kirim ke Eropa,” ungkap Dodik sang kepala gudang. ”Tapi beda dengan milik petani. Kami menanam sendiri dengan perlakuan khusus”, jelas pria 45 tahun itu. ”PTPN X memakai wereng atau jaring penaung dan meminimalisir penggunaan pestisida. Karena itu Na Oogst kami disebut TBN, Tembakau Bawah Naungan,” lanjutnya. Fungsi naungan tersebut untuk mengurangi sinar matahari dan air hujan serta memperkecil resiko serangan hama dari luar.
Harga jaring untuk menaungi satu hektar ladang sekitar 40 juta rupiah. Jarak antar pohon juga lebih lebar. “Tapi sepadan dengan hasilnya. Daun lebih lebar, kuat dan elastis. Kelir daun lebih mulus, nikotinnya juga rendah”, lanjut pria jangkung itu. Padahal modal tanam Na Oogst di petani saja per hektar sekitar 50 juta rupiah sendiri. Wajar saja hanya perusahaan bermodal besar yang sanggup menanam TBN ini.
Penyebab utama Na Oogst berharga tinggi karena produk akhirnya. Tak seperti rokok, cerutu terbuat dari 100% daun tembakau utuh. Proses pembuatannya rumit, hand made, dan butuh waktu lama. Namun lebih dari itu, cerutu adalah prestis dan lekat dengan para legenda. Sebut saja Che Guevarra, Fidel Castro, Winston Churchill dan tentu saja Soeharto. Indonesia sendiri menyumbang sekitar 34% pasokan tembakau cerutu di pasar global dimana 25% nya hanya dari Jember saja. Sisanya dari Klaten dan Deli.
Tembakau sedang memutar kencang roda ekonomi di Jember. Mulai dari buruh tani, pekerja perusahaan tembakau, bisnis bambu sebagai bagian penting proses pengeringan, sampai jasa angkutan. Bahkan sekadar tidur di gudang pun mendatangkan upah. ‘Sihir’ tembakau juga berimbas pada mereka yang tak berhubungan langsung. Pasar, warung makan sampai dealer motor pun tampak ramai.
Selanjutnya : Sejumput Kisah Negeri Daun Emas (bag. 2)
Benar lah julukan yang diberikan untuk tembakau sebagai Daun Emas. Beberapa tahun lalu (sudah lama) aku mendengar cerita yang kurang lebih sama dengan Tembakau di Wonosobo, entah saat ini, sepertinya tak segemilang di Jember.
Syukurlah bila ini bisa menggerakkan roda perekonomian di Jember terutama petani yang selama ini seolah pihak yang tak diuntungkan dengan hasil keringatnya sendiri.
Tulisannya bagus, Aan… Meski panjang dan perlu fokus untuk mencerna kalimat-kalimatnya. Foto mah gak usah diragukan, soal yg ini aku mah padamu… Hehehe
Akhirnya postingku dikomen bu dosen juga.
Makanya ini dibagi dalam 2 bagian mbak. tunggu kelanjutannya
Membaca tulisan ini sadar begitu rumitnya industri tembakau. Jadi penasaran imbas Gerakan anti merokok terhadap produksi mereka signifikan tidak ya? Hebat ya Jember pemasok seperempat produksi cerutu dari Indonesia. Sesuatu yang take terbayangkan sebelumnya
Nanti bagian ke 2 ada sedikit gambaran umum tentang dinamika industri tembakau. Selain faktor kesehatan, permainan politik bisnis berperan juga didalamnya.
Btw terima kasih telah berkunjung.
Saya punya Paman yang punya usaha ambil tembakau dari petani langsung, penuturan sang paman ku itu sama mirisnya dengan serba serbi para petani tembakau yang berhasil di tuturkan dengan alur yang mengalir dan komplit. Btw menengok tampilan pak hasan mufti bikin aku terharu. Btw hasil jempretan mu Kece mampussss!!! Mas … great!!!
emang pamannya tinggal dimana? masih berdagang tembakau kah?
btw, terima kasih telah berkunjung
Mas, ada gk sih usaha dari pemerintah untuk membantu petani atau pengusaha tembakau saat mereka mengalami masa sulit seperti tahun 2015? Karena kalau usaha tembakau ini sampai mati kan sedikit berpengaruh pada presentase ekspor indonesia.
kurang tau persisnya ya. yang kutahu dari beberapa petani, waktu 2015 dan 2016 kemarin pemerintah daerah pernah meminta perusahaan untuk membuka gudang mereka lebih lama supaya memberi petani waktu lebih untuk menjual tembakaunya. selebihnya bantuan pemerintah ya standar macam pupuk dan peralatan pertanian.
pertama lihat judulnya, aku berharap ayah nggak baca atau nggak tahu tentang negeri tembakau ini. susah buat meminta ayah berhenti merokok *terus jadi baper
Nanti lihat edisi keduanya. akan ada sedikit gambaran tentang dunia pertembakauan. cuma emang masalah tembakau ini lebih pelik dari yang terlihat sih. sangat banyak orang yang bergantung dengannya. dan lagi2 ada unsur politik bisnis di dalamnya.