Bandung, the West Java capital is a communal area and popular destination at a time. It has hectic street just like other big cities. Almost no time for calmness. Hard, dusty and noisy. It is a melting pot which leads to high risk of conflict. Yet it offers living for those who made a try, the strong who dear to face the risk of working on the street. Messy weather and the ruthlessness of street are classic problem that always set to say hello at the most unexpected times. Street is no place for the faint-hearted. Here are some of the Bandung street fighters
Bandung, ibukota Jawa Barat ini adalah sebuah wilayah komunal sekaligus destinasi populer. Seperti lazimnya kota besar, jalanannya selalu riuh bergemuruh. Nyaris tak ada istilah sepi bagi jalanan Bandung. Keras, berdebu dan bising. Ia adalah wadah pertemuan multi kepentingan yang rawan persinggungan. Dibalik keramaian tersebut sebagian orang menggantungkan asa atas nama hidup yang terus berdenyut. Mereka yang cukup berani menghadapi dinamika bekerja di hamparan aspal. Cuaca tak menentu dan kerasnya jalanan adalah masalah klasik yang selalu datang menyapa di waktu yang tak terduga. Mereka ada namun seolah tenggelam di bawah hingar bingar kota. Karena sungguh jalanan bukanlah tempat bagi mereka yang berhati lemah. Ini sebagian di antara petarung di jalanan Bandung
***
Emis, 60, is a mechanic providing service for flat tire right across Simpang Dago market. He run his business since 1976 as he joined his uncle. The biggest worry at past was being raided by local civil service. Regardless of modest job he successfully delivered three sons finishing their university. Even the oldest one has a master degree and took a job as a lecturer. What a proud.
Pria 60 tahun ini bernama Emis. Ia menekuni profesi tambal ban sejak tahun 1976 ketika diajak serta oleh sang paman. Pria asli Bandung ini sehari-hari mencari nafkah di seberang Pasar Simpang Dago. Ia bertutur di masa lalu ia memiliki kenangan buruk sering menjadi target razia Satpol PP. Walaupun profesinya sederhana namun ia tetap bangga karena mampu menyekolahkan semua tiga putranya sampai lulus S1. Si sulung bahkan telah menempuh S2 dan saat ini menjadi dosen di salah satu universitas negeri di Bandung.
***
Muhammad Rafiq along with three friends sells shoes by using a car at Jalan Diponegoro. At day the 35 years guy makes a living as a property broker and become an enterpreneur since 5 untill 9 pm. The hardest time is when the rain falls as almost no customer to come. Rafiq seemes to enjoy his business since it is cheap and offer a flexibility.
Namanya Muhammad Rafiq. Ia biasa berjualan sepatu memanfaatkan mobil pribadi bersama tiga orang temannya di Jalan Diponegoro. Saat siang hari pria 35 tahun ini mencari nafkah sebagai broker properti lalu melanjutkan usaha pribadinya itu di malam hari dari jam 5 sore sampai 9 malam. Hujan adalah tantangan terbesar yang menyurutkan omsetnya. Rafiq menyukai usaha ini karena tak butuh modal yang terlalu besar dan ia bisa bebas mengatur sendiri ritme kerjanya.
***
The Medan guy was worked in a finance company. Yudhi Firmansyah, 32, now run his foodtruck business labeled Joeragan Kopi which has just started a week ago ( by the date pic taken ). He loves to hang out and that’s the main reason he picked coffee as his core business. By become an enterpreneur he can gain his freedom which he could not win in previous job. As a beginner now he is facing a difficulties to adapt. Suffering a loss and getting the right spot are the biggest challenges for a father of a daughter.
Pria asal Medan ini sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan keuangan. Yudhi Firmansyah, 32 tahun, lalu memutuskan membuat usaha sendiri berupa foodtruck berlabel Joeragan Kopi yang sebenarnya baru saja dimulainya seminggu yang lalu (saat foto ini diambil). Kopi menjadi pilihan karena kegemarannya nongkrong bersama para teman. Kopi dan nongkrong sepertinya memiliki benang merah yang kuat. Wirausaha ini dipilih demi mendapatkan sesuatu yang tak didapatkannya di tempat kerja yang lama, kebebasan. Proses adaptasi yang lumayan berat masih ia jalani karena usahanya ini masih sangat baru. Jual rugi dan mendapatkan tempat mangkal yang sesuai adalah tugas terberat ayah seorang anak ini.
***
Jana Suryadi, the Garut native moved to Bandung in 1982 and now provides service as a technician for electronics especially television. Thanks to hard work, now he owned a workshop in Jalan Kidang Pananjung and already sent his three sons to university, an achievement he could not achieved before. Rain is blessing, some say. But not for him as he loose his customer when the sky drop its water.
Jana Suryadi, begitu nama pria asal Garut ini. Ia pindah ke Bandung pada 1982 dan mulai menekuni usaha reparasi televisi tiga tahun berikutnya berkat kegemarannya membongkar pasang peralatan eletronik. Berkat kerja kerasnya, pria 63 tahun ini mampu menyekolahkan tiga orang anaknya sampai jenjang kuliah, sebuah pencapaian yang tak pernah bisa digapainya dulu. Jana biasa membuka lapaknya di Jalan Kidang Pananjung, Dago. Tantangan terbesarnya adalah faktor cuaca. Jika ada pepatah mengatakan hujan adalah berkah, mungkin ia tak terlalu menyukai pepatah tersebut.
***
One of few female street fighter is Ade Wiwik, a binman since mid 2015. The 56 years woman now already have three sons and a grandson. Everyday actually she works as general affair at subdistrict office. But she has to make an extra living as street cleaner since her husband just staying at home. She did not tell the real story. But one thing for sure, she became had more care to nature. Once sadly she loved to littering. Now Wiwik understand it’s just simply a bad habit. She is so grateful for that.
Satu diantara sedikit wanita yang berjuang hidup di jalan. Ade Wiwik memilih bekerja sebagai petugas kebersihan sejak pertengahan tahun 2015. Wanita 56 tahun ini telah memiliki tiga orang anak dan satu cucu. Sehari-hari ia biasa beraktifitas di kantor kelurahan Sekeloa Tengah di Bagian Umum. Ia memilih untuk mencari nafkah tambahan sebagai petugas kebersihan karena sang suami yang tak lagi bekerja. Entah apa penyebabnya ia tak menyibaknya dengan jelas. Satu hal yang disyukurinya sejak menjadi petugas kebersihan adalah ia menjadi lebih sadar lingkungan. Ia mulai mengerti bahwa kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan adalah hal buruk. Sebuah kebiasaan yang di masa lalu adalah hal lumrah baginya.
***
Ade Koswara made up his life as a street barber since 12 years ago and gratefully he able to feed three children. Instead a choice, being a barber is a destiny since most man on his hometown Garut are barber. Rainfall is a routine challenge. But a proud has put on him. Some of his loyal customer came from high class society in Bandung. When the picture taken, the 42 years guy had just made a haircut to a former dean at one of the top university in the country. Ade can be found right across the Simpang Dago market.
Ade Koswara, pria 42 tahun ini menjadi tukang cukur jalanan sejak 12 tahun yang lalu dan mampu menafkahi dua putra dan satu putri. Menjadi tukang cukur baginya bukanlah pilihan namun keniscayaan. Bagaimana tidak, mayoritas pria di desa asalnya di Garut adalah tukang cukur. Ya, Garut memang tersohor sebagai penghasil tukang cukur. Selain persaingan sesama seprofesi, hujan adalah masalah klasik. Namun dibalik itu terselip kebanggaan. Sejumlah orang ‘besar’ mempercayakan kepala mereka pada guntingnya. Saat foto ini dibuat seorang mantan guru besar sebuah universitas ternama di Bandung baru saja beranjak dari lapaknya yang berada di seberang Pasar Simpang Dago itu.
***
Totong Hasan Toyari, 53, already took a job as parking guy since 16 years ago. The former tailor can be found at Jalan Tubagus Ismail. His biggest trouble comes when a guest park the car right in front of a main gate of a house. Soon the father of three daughters will face an anger from the house owner.
Totong Hasan Toyari, begitulah nama pria 53 tahun yang bekerja sebagai tukang parkir ini. Ia telah menekuni profesinya selama 16 tahun dan sebelumnya pernah menjadi penjahit. Pak Totong, begitu ia biasa dipanggil, bisa ditemui di Jalan Tubagus Ismail. Kesusahan terbesarnya adalah ketika ada pemakai kendaraan memarkirkan kendaraannya di depan pintu rumah warga dan membuat ayah 3 putri ini dimarahi oleh si pemilik rumah.
***
The 67 years old Kartimin has make a living as a street milkman since 1999. The former cattleman walks around Bandung from his house in Lembang since 5 am everyday. Bojongsoang is the furthermost reached area which more than 20 kilometers in distance. This job has made him sucessfully sent his three daughter to school. Rainfall is a classic problem to deal with as the Gombong native could not sell his fresh milk.
Pria 67 tahun ini bernama Kartimin. Ia mencari nafkah sebagai penjual susu sapi keliling sejak tahun 1999 dan sebelumnya pernah beternak sapi. Pria asal Gombong ini setiap hari berkeliling di jalanan Bandung dari rumahnya di daerah Lembang dari jam 5 pagi. Bojongsoang adalah daerah terjauh yang pernah dijelajahinya. Usaha sederhana ini telah mengantarnya untuk mampu menyekolahkan tiga orang putri. Sebagaimana pejuang jalanan yang lain, hujan adalah momok terbesar yang harus dihadapi.
***
Samsuri, 39, is one of Cirebon-connection secondhand booksellers on Jalan Cikapundung. The story began in 1999 when his uncle took him along to Bandung. A father of two sons opens his stall at 9 am untill 6 pm. Architectural and photography magz are the best selling items.
Samsuri, pria 39 tahun ini adalah salah satu dari sekian penjual majalah bekas di Jalan Cikapundung. Ia adalah koneksi Cirebon yang menempati semua lapak majalah di daerah tersebut. Kisahnya dimulai pada tahun 1999 saat sang paman mengajaknya untuk turut serta ke Bandung untuk berjualan majalah dan masih berlangsung hingga sekarang. Ayah 2 putra ini biasa membuka lapaknya dari jam 9 pagi hingga 6 sore. Majalah arsitektur dan fotografi merupakan favorit para pelanggannya.
***
Oyon Saparudin is a 63 years old rubber stamps maker. Oyon started his business since 1975, just two years after his migration from West Sumatra to Bandung. August – September is his favourite period since it is annual peak season as so many competition held in commemoration of the national independence day. A father of three sons had just get a calamity. Floods swept Dayeuholot area few days ago forcing the residents to flee including his family to shelters.
Oyon Saparudin, begitulah nama pria yang mencari nafkah sebagai pembuat cap dan stempel ini. Pak Oyon begitu panggilannya, menekuni usaha ini sejak tahun 1975, dua tahun setelah hijrah dari tempat asalnya di Sumatra Barat. Pria 63 tahun ini mengaku bulan Agustus-September adalah waktu yang disukainya karena saat itu usahanya selalu ramai seiring dengan banyaknya lomba yang berlangsung di saat itu. Ayah 3 putra ini baru saja ditimpa musibah. Rumahnya di daerah Dayeuhkolot terkena banjir yang memaksa keluarganya mengungsi ke tempat penampungan.
***
Rostim Suwanda, the Tasikmalaya native was a truck driver until 2001 when he switched as a bus driver. Most of his passenger are tourist group who visit around West and Central Java while Lombok island is the furthest. Leaving his wife and two kids frequently is the hardest part especially in holiday season. However such a gratitude for the 42 years old man that he never had an accident while on the road. Going home safely is a gift.
Rostim Suwanda berprofesi sebagai supir bis sejak 2001 dan sebelumnya menjadi supir truk. Ia sering membawa rombongan wisata ke sekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sementara rute terjauh yang pernah dilaluinya adalah ke Pulau Lombok. Sering meninggalkan istri dan dua anaknya adalah tantangan terbesar dalam menjalani profesi ini terutama di musim liburan. Namun demikian sebuah kesyukuran besar masih bisa dirasakan pria 42 tahun asal Tasikmalaya ini. Selama bekerja di jalanan ia belum pernah terlibat kecelakaan yang merugikan harta dan nyawa.
***
Anwar Sanusi, 25, is a railway gate keeper since four years ago. It’s a low pressure job actually but requires a dedication since it matters to life. What a grateful for him to know that he never did negligence resulting casualties. However once there was an event that could make the Subang native in trouble. That night he did not hear the warning signal since he fell asleep so deep for too tired. Finally he still managed to awake and push the button just a second before the train passing. Luckily the crossing was empty. Anwar admitted the fact that actually he was too late regarding to SOP. Knowing a careless driver pilfering is the most annoying moment for a father of a son. They not only stupid but selfish for not thinking of their familiy, he said.
Anwar Sanusi, 25 tahun, berprofesi sebagai penjaga pintu perlintasan kereta api sejak empat tahun yang lalu. Baginya profesi ini sebenarnya cukup santai namun membutuhkan dedikasi tinggi karena berhubungan dengan nyawa. Ia bersyukur sampai saat ini belum pernah melakukan kelalaian yang menyebabkan jatuh korban jiwa. Namun demikian ada satu peristiwa yang sempat membuat pria asal Subang ini nyaris tertimpa masalah. Suatu hari ia tertidur begitu lelap karena terlalu lelah sampai tak mendengar sinyal peringatan bahwa kereta akan melintas. Beruntung akhirnya ia masih sempat terbangun di detik-detik terakhir tepat sebelum kereta melintas. Beruntung juga baginya saat itu malam dini hari sehingga kondisi jalan sedang sepi. Anwar mengakui sebenarnya saat itu ia sudah terlambat jika mengacu standar operasional yang berlaku. Saat-saat paling mengesalkan bagi ayah seorang putra ini adalah ketika ada pemakai jalan yang nekat menerobos pintu perlintasan yang telah tertutup. Ia menyebut orang seperti itu bukan hanya bodoh tapi juga egois karena tidak memikirkan keluarganya.
***
The marriage couple is Tantan Santosa, 58, and Jubaidah, 55. In 1997 they started to open a nasi goreng (fried rice) stall in Jalan Juanda but in fact they have started to selling food since 1982. Thanks to the small business they can feed two sons. Once again rainfall is the greatest obstacle. There were some times they did not get a single customer at all as the sky kept dropping water throughout the day. But show must go on. They will always wait for customer to come.
Pasangan suami istri adalah Tantan Santosa, 58 tahun, dan Jubaidah, 55 tahun. Mereka telah berjualan makanan sejak tahun 1982 namun baru menekuni nasi goreng sejak 1997 tepatnya di Jalan Ir. Juanda. Berkat usaha tersebut Tantan dan Jubaidah mampu menghidupi dua orang anak. Hujan menjadi momok terbesar yang membuat usaha mereka sepi pembeli. Sempat beberapa kali mereka tak mendapatkan satu pun pembeli karena langit yang terus menjatuhkan air selama satu hari penuh. Walau demikian mereka masih bersyukur karena sampai sekarang mereka masih bisa hidup berkecukupan.
***
Aban, 30, is a hawker selling cilok (a local snack made from starch) since 2013 joining his brother. He had no permanent job before, mostly worked as construction labor. Aban is an introvert. Just a little words came up form his mouth. The Majalengka guy can be found at Simpang Dago market.
Pria penjual cilok ini bernama Aban. Pria 30 tahun ini memulai profesinya saat ini sejak 2013, menyusul sang kakak yang telah memulai beberapa tahun lebih awal. Sebelumnya ia bekerja serabutan. Yang paling sering adalah sebagai kuli bangunan. Tak banyak yang bisa digali dari Aban karena sifatnya yang cenderung pendiam. Pria asal Majalengka ini dapat ditemui berjualan di Pasar Simpang Dago.
***
Tasirun started selling traditional toys made from bamboo on street since seven years ago along with his first son while he left his wife and the youngest son in the hometown Gunung Kidul, Yogyakarta. Cicalengka is the most distant area for the 43 years old man from his rented house in Kiaracondong. The best selling toy is gasing since it’s quite tricky to play the toy among the others. Tasirun can be spotted every Sunday in Taman Lansia and Car Free Day at Jalan Juanda. While other day he prefers to walk around the town.
Tasirun mulai berjualan mainan tradisional dari bahan bambu sejak tujuh tahun yang lalu bersama putra sulungnya. Sementara ia meninggalkan istri dan si bungsu di tempat asalnya di Gunungkidul, Yogyakarta. Pria 43 tahun ini paling jauh pernah berjualan sampai Cicalengka dari rumah kontrakannya di Kiaracondong. Dari beberapa jenis mainan yang dijualnya gasing adalah yang paling laris karena membutuhkan teknik yang sedikit lebih sulit dibanding mainan lainnya. Tasirun dapat dijumpai setiap hari minggu di Taman Lansia dan kegiatan Car Free Day.
***
Arifin Silalahi is a member of traffic police unit at Bandung Police Department. The 55 years old man joined the Bhayangkara Corps since 1985. The job has raise a great pride, dedication for serving the country. He told a hope, he kept a pray one of his two sons will follow his career as a police officer.
Anggota satuan polisi lalu lintas Polrestabes Bandung ini bernama Arifin Silalahi. Pria 55 tahun ini menjadi bagian Korps Bhayangkara sejak tahun 1985. Pengabdian bagi negara adalah kebanggan terbesar Arifin sebagai anggota polisi. Ada sebuah harapan agar ada salah satu dari dua putranya bisa mengikuti jejaknya sebagai abdi negara.
***
Dani Ramdani is a local officer of Department of Transportation since 2004. His main responsibility is to collect levy from the angkot ( local public transportation ) driver. The 36 years old guy told that actually it’s a boring job. Yet he couldn’t leave since it’s more promising a financial stability while he have two daughter to feed. Dani can be seen near Balubur area since 9 am untill 1 pm.
Dani Ramdani adalah petugas Dinas Perhubungan yang tanggung jawabnya menarik iuran retribusi dari para sopir angkot dengan rute tertentu. Ia telah menjalani profesi ini sejak tahun 2004 yang lalu. Pria 36 tahun ini mengaku pekerjaan ini sebenarnya agak membosankan namun ia masih menggelutinya karena lebih menjanjikan kestabilan finansial walaupun jumlahnya tak seberapa. Ia belum berani beralih profesi karena ia sudah memiliki tanggungan 2 orang anak. Dani biasa beroperasi di daerah Baltos dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang.
***
Tardi, 31, started a job as a fast food delivery service since 4 years ago. Many ups and downs experinced by the father of two sons. Rainfalls and distant destination are routine challenges as a courier. Some times he gets a tip from his customer that keeps him excited about his job.
Tardi, 31, mulai menjalani pekerjaan sebagai kurir jasa antar makanan siap saji sejak 4 tahun yang lalu. Ada banyak suka duka yang dialami ayah 2 orang putra ini. Di antaranya jika sedang hujan dan tujuan pengiriman berada cukup jauh dari markasnya. Namun tak jarang ia mendapat tips dari pelanggan yang membuatnya tetap bersemangat menjalani profesinya ini.
***
The angkot (local public transportation) driver is Mimih Ruhiyat. He shared his angkot which serves Dago-Caringin route with a collague. Mostly he took a shift from 1 to 9 pm. Rainfalls and traffic jam are big problem for the 50 years old Bandung native. But he still managed to survive thanks to his 25 years of experience. Home is an oasis. A wife and two kids are never failed to refill his spirit.
Sopir angkot ini bernama Mimih Ruhiyat asli Bandung. Ia berbagi angkot Dago – Caringin nya dengan seorang teman. Sementara ia sendiri lebih banyak mengambil jatah dari jam 1 siang sampai 9 malam. Dalam menjalani profesinya pria 50 tahun ini paling benci ketika hujan dan macet. Namun berkat pengalamannya selama 25 tahun ia selalu mampu menghadapi tantangan yang membuat rezekinya tersendat itu. Pulang ke rumah berkumpul bersama istri dan dua anaknya selalu menjadi penawar lelah.
***
David Duriatpraja previously worked in marketing division of a local bank untill in October 2015 he left the job and became an ojek ( motorbike taxi ) driver. Instead of become an opang ( ojek pangkalan, conventional ojek ), he chose the online ojek which utilize mobile appilcation. He enjoys his living today for its freedom of time. But it also presents a risk. It’s a no secret the presence of online ojek is a dislike for some of the opang due to rivalry. As a result David received intimidation for several times. Lucky for him, the father of a daughter never experinced anything serious including traffic accidents.
David Duriatpraja adalah nama pria ini, seorang penyedia jasa layanan antar penumpang dengan motor alias ojek. Sebelumnya pria 35 tahun ini bekerja di bagian marketing sebuah bank hingga akhirnya pada Oktober 2015 ia memilih mencari nafkah sebagai ojek online. Ia menyenangi profesinya saat ini karena adanya kebebasan mengatur waktu. Namun itu juga memunculkan sebuah resiko. Bukan rahasia kalau ojek konvensional kurang menyukai kehadiran ojek online. Akibatnya ayah 1 putri ini sempat beberapa kali mendapatkan intimidasi dari ojek konvensional yang sering disebut opang alias ojek pangkalan. Untungnya sampai saat ini ia belum pernah mengalami sesuatu yang serius termasuk kecelakaan di jalan.
***
Alfian Widiantono
Indonesian based photographer & storyteller. Photography has been a great passion since his high school. The self-taught photographer applied photography as his week end activity. Yet since 2014 turned it profesionally as he left his office job. Had took photojournalism short course at ANTARA news agency, Alfian dreamed of being a part of the change of Indonesia through photography by spreading more good story about the country.
Terharu dan terinspirasi sangat membaca cerita dan foto para “petarung jalanan” ini 🙂
hai, pejalan jalanan :p
sumpah mas saya juga terharu dan terinspirasi melihat foto foto jenengan seperti diatas, apalagi yang jualan jualan dan bekerja tapi udah sepuh2..btw itu Gojek banyak nian smartphonenya
Terima kasih mas.
Itu yang gojek sbnrnya di pangkalan, makanya banyak HP nya
ninggalkan jejak di webnya mas Alfian 🙂
Yang biasa saya kunjungi itu lapak buku di Cikapundung. Saya kenal mang-mangnya itu, biasa ke sana beli majalah hbr dan times
Halo, salam kenal.
Wah, semoga bisa ketemu kpn2. lumayan sering kesana juga soalnya.
Makasih udah berkunjung.