“Ya, bagus”, seru lelaki bertopi baret itu kepada beberapa anak yang sedang melukis. ”Jangan takut. Teruskan saja”, lanjutnya. Kalimat ini tak asing bagi mereka yang mengalami masa kecil di era 1970-1990an. Tayangan televisi berdurasi setengah jam tersebut seolah menjadi tontonan wajib anak-anak di masa itu. Saat itulah seminggu sekali anak-anak duduk manis ndomblong di depan layar kaca.
Tag: culture
Festival Pegon, Berlebaran Di Atas Gerobak Sapi
Jam 7 pagi Desa Sumberrejo masih tampak seperti biasa. Namun tak lama kemudian kemeriahan mulai menyelimuti desa kecil di Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur tersebut. Keriuhan berasal dari depan balai desa, tepatnya puluhan pegon atau gerobak bertenaga sapi yang datang dari beberapa desa sekitar untuk berpartisipasi dalam acara Festival Pegon.
Mengintip Dapur Mobil Hias Yogya
Dahulu Alun-Alun Selatan Yogyakarta bukanlah tempat favorit untuk menghabiskan waktu luang. Kala itu kehidupan malam di sana hanya hadir dari sejumlah pedagang barang bekas, warung angkringan, dan anak-anak muda yang nongkrong tanpa alasan jelas. Penerangan yang ada hanya berasal dari temaram lampu jalan dan lampu kendaraan yang melintas. Suasana remang-remang ini tak jarang memancing terjadinya hal-hal tak pantas.
Lawatan Ke Bumi Pandhalungan (bag. 2)
Sebelumnya di bagian 1
Suatu malam saya menyambangi salah satu hajatan seni di Desa Tanjungrejo. Pertunjukan ludruk tengah berlangsung namun tak seperti ludruk khas Jawa Timur umumnya. Beberapa yang mencolok yaitu dendang dimainkan memakai dua jenis alat musik gamelan Jawa dan thong-thong ala Madura. Keduanya menelurkan musik yang lebih rancak. Belum lagi penggunaan dua bahasa Jawa dan Madura. Tiba-tiba saya menapak tilas kenangan saat pertama kali melawat ke kabupaten tapal kuda ini beberapa tahun silam. Kala itu saya pikir kota tembakau ini sama seperti daerah lain di Jawa Timur yang didominasi suku Jawa. Maka saya begitu terperangah saat bersua begitu banyak orang Madura di Jember.
Lawatan Ke Bumi Pandhalungan (bag. 1)
Saya tengah berkelebat di daerah Sumuran sambil mencuplik kenangan setahun silam. Kala itu di lokasi yang sama bau wangi memenuhi relung hidung dan memaksa saya melambatkan laju roda dua demi menikmatinya lebih lama. Semerbak tersebut berhulu dari deretan gudang pengeringan daun tembakau yang berjajar di sepanjang jalan. Tak sulit menemukan bangunan besar memanjang yang terbuat dari bambu dan kayu itu di pinggiran Jember. Nampak pula iringan truk dan mobil bak terbuka hilir mudik keluar masuk area gudang pengeringan. Hingar.
Kampong Blangkon Serengan, At Glance (Secuplik Tentang Kampung Blangkon Serengan)
Serengan Quarter located on south side of city of Solo, Central Java, might not as popular as other urban settlement such as Kauman or Laweyan. However, the narrow alleys and crowded houses presents an interesting story. The dense region is known as Kampong Blangkon, a nickname for place-based community which many of the resident make a living as blangkon artisan. Blangkon is traditional javanese headdress worn by men and made of batik fabric.
Mengetuk Pintu Laweyan
Laweyan adalah batik. Konotasi itu telah terbangun sejak lama. Apalagi selepas daerah yang berada di tepi Kota Solo itu resmi bertajuk Kampoeng Wisata Batik pada 2004. Namun seorang teman asal Solo, Halim Santoso meyakinkan saya bahwa Laweyan lebih dari sekedar batik. Sebuah bujukan tersamar. Ditemani Halim, saya pun menjajal membuktikan lisannya itu. Di luar perkiraan. Alih-alih banyak orang atau kendaraan berseliweran, kampung ini lengang untuk ukuran tempat wisata padahal saat itu hari minggu.
Kidung Rahayu dan Sebuah Harap Dalam Mahesa Lawung
hong prayoga niro….(rahayu)
sang hyang geni seko wetan…(rahayu)
putih warnane geni…(rahayu)
opo pakertine geni…(rahayu)
anglebur roro rogo roro wiguno…(rahayu)