Pernah tutup karena kalah bersaing dengan mi instan, pembuatan mi lethek yang masih tradisional ini kembali bangkit. Digemari tokoh kondang macam SBY dan Obama, serta didukung naiknya tren makanan organik dan faktor sejarah, pabrik bahan kuliner khas Yogyakarta itu mencoba mereguk kembali kejayaan. Proses produksi yang masih konvensional menjadi salah satu tantangan walau itu justru menarik bagi sejumlah kalangan.
***
Bangunan di ujung jalan beraspal itu sekilas terlihat biasa, pun tak ada suara hingar bingar. Fasad luar yang sederhana dan kusam serasi dengan suasana sepi lingkungan desa di sekitarnya. Di sisi dalam, bangunan tersebut nampak tua dengan langit-langitnya yang tinggi. Beberapa garis cahaya matahari menembus jendela-jendela kecil di bagian atas, menerangi ruangan yang temaram. Sejumlah peralatan mekanik tradisional tersebar memenuhi ruangan. Sementara sayup terdengar suara beberapa orang berbincang berpadu dengan lenguhan sapi dan bunyi kayu yang beradu.
Bangunan tua ini adalah pabrik mie lethek Cap Garuda yang masih banyak melibatkan proses pembuatan secara tradisional. Lethek dalam bahasa Jawa berarti kotor atau kusam, merujuk pada warna mie yang dibuat. Berlokasi di Dusun Bendo, Trimurti, Srandakan, Bantul, propinnsi DIY, usaha pembuatan mie lethek ini sekarang dikelola oleh Yasir Ferry Ismatrada. (Detil lokasi cek di gmaps)
Menurut penuturan Ferry, pabrik ini didirikan sekitar tahun 1940 oleh kakeknya, Haji Umar Bisir Nahdi yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Ia membuat usaha tersebut selain untuk mencari nafkah sekaligus membantunya dalam menyiarkan agama Islam.”Orang akan lebih mudah diajak bicara jika perutnya terisi,” kata Ferry tentang ikhtiar simbahnya tersebut. Sang kakek sempat memiliki 3 pabrik yang kemudian diteruskan oleh anak-anaknya, salah satunya yaitu ibu Ferry, Salma Umar Bisir. Pabrik di Dusun Bendo ini pernah tutup pada tahun 1982 lalu disusul oleh dua yang lain pada 1985 dan 2010. Penyebab utamanya karena kalah bersaing dengan mie instan dan para penerusnya memilih profesi lain.
Baca juga : Limun Oriental, Setitik Asa Legenda Rasa Melawan Masa
Pada tahun 2002 pabrik di Dusun Bendo akhirnya beroperasi kembali dan langsung dipegang oleh Ferry. Keinginan warga sekitar yang membutuhkan pekerjaan menjadi salah satu faktor pendorong. Masukan dari internal keluarga juga menjadi pertimbangan. “Ada saudara seorang dokter yang mengatakan bahwa mie lethek itu makanan organik yang sehat karena tidak tercampur bahan kimia atau pengawet. Dan masyarakat sekarang mulai sadar akan pentingnya makanan yang alami. Bahkan di luar negeri sudah menjadi tren,” celetuk pria 43 tahun itu. Mie lethek sendiri terbuat dari tepung tapioka dan gaplek yang keduanya berasal dari singkong.
Proses pembuatan mie lethek berawal dari mencampur dan menggiling kedua bahan utamanya di atas lumpang raksasa berdiameter sekitar 2 meter. Sebuah batu yang beratnya sekitar 1 ton bergerak melingkar menggiling bahan-bahan tersebut. Batu itu sendiri digerakkan oleh tenaga sapi serta tiga orang yang mengatur penggilingan. Oleh para pekerja proses ini disebut nyelender, berasal dari batu gilingan yang berbentuk silinder. Selanjutnya bahan baku dimasak dalam oven berbahan bakar kayu lalu digiling lagi yang kemudian dipress dan dicetak berbentuk mie. Tahap mencetak dan memotong itu disebut ngebi. Proses setelah itu adalah menjemur mie di bawah matahari selama beberapa jam sebelum akhirnya diambil dan dimasukkan dalam kemasan plastik siap jual. Satu plastik berisi 5 kg mie lethek dengan harga jual (saat tulisan ini dibuat) Rp 18000 per kilo. Keseluruhan proses tersebut membutuhkan waktu minimal 24 jam, tergantung sinar matahari dan kondisi alat.
Baca juga : Festival Pegon, Berlebaran Di Atas Gerobak Sapi
Menggunakan sebagian besar peralatan tradisional dan tenaga kerja 35 orang, saat ini pabrik tersebut menghasilkan sekitar 900 kg mie lethek per hari, jumlah yang hanya mencukupi kebutuhan pasar lokal. Itu pun masih kurang. Ferry mengatakan bahwa tim dari UGM pernah menghitung kebutuhan mie lethek hanya untuk pasar Bantul dan sekitarnya per hari sekitar 2,5 ton dan 3 ton jika ditambah luar Yogyakarta.”Paling jauh yang bisa kami kirim secara rutin baru Pasar Beringharjo di pusat Kota Yogyakarta. Kalau luar kota kami masih sering tidak bisa memenuhi”, tuturnya.
Kondisi ini sebenarnya adalah peluang dengan beberapa tantangan yang menyertai. Pertama, alih teknologi untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan produksi. Di dalamnya yang paling menantang adalah proses pengeringan yang sangat tergantung dengan cuaca. Ferry pernah menghitung butuh sekitar 2,5 milyar rupiah hanya untuk mengganti alat, belum termasuk bangunannya. Status pabrik ini yang belum berbadan hukum menjadi ganjalan untuk mengakses pinjaman modal. ”Kalau diubah jadi perusahaan atau CV, kami berat di bayar pajaknya mengingat marjin keuntungan kami sangat tipis, maksimal hanya 10%,” ungkap Ferry.
Tantangan lainnya yaitu transformasi SDM. Perubahan teknologi tentu berpengaruh pada pekerjanya. Tidak mudah mengganti pekerja yang sebagian besar sudah berumur tua. “Beberapa bahkan ada yang kenal langsung dengan Mbah Umar. Tidak mungkin saya mengganti begitu saja setelah mereka bekerja penuh pengabdian. Lagipula ini satu-satunya pekerjaan yang mereka tahu,” Ferry menambahkan.
Baca juga: Mengintip Dapur Mobil Hias Yogya
Di sisi lain unsur tua dan tradisional pabrik ini menarik perhatian sejumlah kalangan. Umumnya mereka datang untuk melihat dan mengambil gambar. Ferry menuturkan tahun 2010 adalah pertama kalinya media lokal datang meliput. Setelah itu perlahan tamu berdatangan dan ia persilahkan berfoto sepuasnya. “Anggap saja promosi gratis,” tukas pria berjenggot tebal itu. Padahal menurut Ferry ada dua pabrik mie lethek lain di Bantul. Usia sepuh dan masih banyak menggunakan peralatan tradisional sepertinya menjadi faktor utama Cap Garuda lebih dikenal khalayak.
Walau kondisinya kurang terlalu menguntungkan, Ferry merasa yakin usaha mie lethek akan terus ada. Makanan organik semakin menjadi tren gaya hidup.”Apalagi mie lethek punya penggemar orang terkenal seperti SBY dan Obama. Promosi dari mereka tentu dahsyat”, serunya sambil menunjuk kliping koran yang tertempel di sebuah dinding yang memuat berita tentang kegemaran kedua tokoh tersebut menyantap mie lethek. Ibarat perjalanan, usaha pembuatan mie lethek ini belum sampai tahap berlari. ”Intinya kami ingin menikmati saja. Yang penting jangan sampai mandeg. Nanti perlahan kami pasti bisa jalan kencang,” serunya penuh optimisme.
Semakin modern nya sajian kuliner masa kini. Sajian Kuliner uangnya berasal dari masa lampau dengan tempaaan tahun bagai Mie Lethek ini pasti masih jadi incaran bagi mereka yang memang menyukai terlebih jadi bagian dari Mie Tersebut. Seperti saya yang masih menyukai sajian Nasi dan lauk pauk Rumahan ketimbang sajian modern resto barat gitu . Anyway ini info yang berguna. Krna saya gak tau soal Me Lethek sebelumnya hehehe makasih yaaa kakak.
Sini ke Jogja mas Indra, di sini masih banyak kuliner tradisional
Aku malah belum ke sini. Beberapa kali diajak teman tapi belum ada waktu yang tepat. Padahal dulu juga sempat sepedaan ke daerah sini.
Laaah, ta kiro malah uwis sebagai tukang blusuk
itulah orang Indonesia di daerah, hati mereka masih bermain untuk soal seperti ini. Gk hanya mengejar keuntungan semata, tapi ada faktor kemanusiaan yg dipertimbangkan.
Oh ya, foto dokumentasi masnya selalu jossss.
Thanks sudah berbagi mas
makasih mas. sini maen jogja
semenjak di Jogja aku seneng mie lethek ini, kuah di mie godongnya terasa berbeda dari mie godog lainnya, mungkin karena bahan dasar pembuatannya.
btw
di bantul ada dua pabrik mie lethek. siapa tau mau nyoba datengi pabrik yang satu lagi
Katanya malah ada 3, semuanya di srandakan. tapi yg paling terkenal ya si Cap Garuda ini karena yang paling tua
Wow permintaannya cukup besar juga ya Mas. Sayang, karena masih diproduksi secara tradisional jadi gak bisa memenuhi permintaan pasar.
Besar banget mas. sudah ada yang minta dikirim dari luar negeri juga bahkan