Setumbu, Lukisan Pagi Borobudur

Sebagai candi Budha terbesar di dunia sekaligus bergelar World Heritage yang diberikan UNESCO, menjadikan candi Borobudur sebagai salah satu tujuan utama wisata di Indonesia. Mengunjungi candi yang dibangun pada abad ke 8 ini sanggup memberikan nuansa tersendiri. Selain bangunannya yang besar, hiasan 1460 relief pahatan dan 504 patung Budha turut menghadirkan rasa takjub bagi siapa saja yang berkunjung.

Borobudur juga bisa dinikmati tanpa harus mengunjunginya, dari sudut yang lain tepatnya. Candi megah nan raksasa ini dapat dinikmati dari kejauhan melalui sebuah bukit yang terletak sekitar lima kilometer sebelah barat dari candi, tepatnya di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Bukit ini terkenal dengan sebutan Punthuk Setumbu, atau cukup disebut Setumbu saja. Dari sini Borobudur yang begitu besar itu justru terlihat sangat kecil di antara rimbunan pohon dengan latar belakang Gunung Merbabu.

IMG_9023_editWM
Diawali dengan matahari terbit dari balik Merbabu
IMG_8994_editWM
Kecilnya Borobudur yang megah itu.

Saat paling tepat untuk menikmati Borobudur dari Setumbu adalah ketika fajar. Momen pembuka adalah saat matahari terbit di balik Gunung Merbabu. Dan momen utamanya yaitu siluet Borobudur diantara rimbunan pohon terbalut embun pagi dan bermandikan cahaya kuning keemasan. Jika beruntung, pengunjung dapat menyaksikan berkas garis cahaya atau yang dikenal dengan sebutan ROL, ray of light, yang menembus melalui awan. Bak lukisan alam, pemandangan ini sungguh cerminan keindahan luar biasa mahakarya Sang Pencipta.

IMG_9037_editWM
Lukisan pagi Borobudur

Memang, lukisan alam ini tak berlangsung lama, tak lebih dari satu jam setelah matahari terbit. Namun bukan berarti kenikmatan berakhir. Pengunjung tetap bisa memanjakan mata sepulang dari Setumbu. Di sepanjang jalan tersuguhkan pemandangan sawah hijau yang terhampar luas beserta rimbunan pohon. Di bagian tertentu, bahkan dengan candi Borobudur sebagai latar belakangnya. Jika beruntung, bisa ditemui sejumlah petani yang sedang menggarap sawah atau obyek-obyek lain khas pedesaan. Pemandangan ini tentu saja menarik untuk diabadikan dengan kamera.

IMG_9158_editWM
Petani sibuk dengan musim panen.
IMG_9253_editWM
Borobudur membawa berkah kesuburan bagi sekitarnya.

Untuk bisa menikmati momen indah ini memang butuh usaha ekstra. Pengunjung harus berada di Setumbu sekitar jam 4.30. Bagi yang berangkat dari Kota Yogyakarta, pengunjung harus berangkat paling lambat jam 3.30 dinihari. Ambil rute menuju Borobudur melalui Jalan Magelang. Sesampainya di Taman Wisata Borobudur, ada pertigaan ambil ke kiri. Setelah melewati gerbang hotel Manohara (sekedar info, Manohara adalah satu-satunya hotel yang terletak di dalam kompleks Borobudur), kurang lebih 200 meter pengunjung akan menemui perempatan, ambil ke kanan. Ikuti jalan ini kira-kira tiga kilometer sampai bertemu pertigaan yang di sebelah kirinya terdapat sebuah masjid. Berhenti dan parkirlah kendaraan di halaman masjid tersebut. Selanjutnya pengunjung harus berjalan kaki mendaki bukit melalui jalan setapak yang berada tepat di seberang masjid selama kira-kira 10 sampai 15 menit, tergantung kecepatan kaki. Beberapa waktu yang lalu jalan setapak ini masih berupa tanah dengan kondisi penerangan yang minim. Tapi seiring semakin ramainya tempat ini, infrastruktur jalan sudah cukup baik dengan dibangun tangga semen dan pagar pembatas. Lampu penerangannya juga cukup memadai. Namun demikian ada baiknya pengunjung tetap membawa senter untuk penerangan maksimal di tengah kondisi yang gelap. Selain itu bagi mereka yang baru akan pertama kali ke Punthuk Setumbu, disarankan untuk survei dulu sebelumnya di waktu siang minimal sehari sebelumnya agar saat pergi untuk melihat matahari terbit tidak banyak membuang waktu untuk mencari jalan, mengingat momen istimewa ini tidak berlangsung lama.

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog Visit Jawa Tengah 2015 (#BlogJateng2015) yang diselenggarakan oleh  @BlogJateng2015 dan @VisitJawaTengah, dengan tema “Cinta (Wisata) Jawa Tengah”.

Banner Lomba Utama.jpg

A Learning From Toys At Under The Stairs ( Belajar Melalui Mainan di Museum Kolong Tangga )

It’s not easy to find the place despite located in center of the city. Lack of information and phisically attached to the Yogyakarta’s Cultural Center (Taman Budaya Yogyakarta / TBY) building which has longer history cause it less known obviously. Museum Anak Kolong Tangga (‘The Under The Stairs’ museum) as the name implies, it is situated under the stairs of an auditorium. Relatively small, more like a warehouse than a museum. Not a good start. But a turning point in sight. The front face is like a waving hand. It invites anyone to come closer. Colorful paintings distingushes it among the white wall. Like a kid who don’t want to give up easily to attract the attention of the adults around him just to let them know he is there.

Do You Have A Name? So We Do (Kami Juga Punya Nama)

Hello, sir. Welcome to Malioboro. We’re happy to see you. If you dont mind, where do you come from? Ah, that’s not important. We have no business with that after all. Thank you for coming, sir. You make the economic wheel spinning, at least for people along this legendary road. Our wheel too, literally. That if our masters are good at persuading or just get a luck. That’s why we happy if you take a ride on us. Otherwise our quiescent is our master’s gloom.

Nyongkolan, Time To Have Some Fun (Saatnya Bergembira)

Suddenly the bus ran slowly. What’s going on out there? Through the window I saw a parade with pretty loud music. While people lined up at the side of the road watching the parade. Even some riders were willing to step aside to watch. Phone and camera were everywhere. From their faces I’m sure it’s a joyful moment. While the  passengers could only watch it enthusiastically from inside the bus. Shortly the bus stopped. Then the driver let the passengers to come out to join the show. Thank God he knew what we want. “Fifteen minutes, okey”, he shouted when we jump out the bus.

Tedong, When Diginity and Livelihood Work Together (Sebuah Mutualisme Antara Kemuliaan dan Penghidupan)

By truck, that morning Frederik took twenty kilometers away from Makale bring three tedongs. One of them is tedong bonga or albino (striped) buffalo. He expects a fortunes of the ongoing bull market in Bolu Traditional Market, Rantepao, North Toraja. Frederik was not alone. Dozens buffalo sellers gathered in the same place, the biggest buffalo market in Indonesia.

The Corners of The Independence (Sudut-Sudut Kemerdekaan)

One of the icons of the city of Jakarta and the largest mosque in South East Asia both in structure and capacity at the same time. Stands out with its 45 meters diameter dome, supported by 12 huge columns, has 4 levels of balcony, the mosque able to accomodate congregation up to 120.000 people. Designed in 1954 by a christian architect from North Sumatra, Frederich Silaban, and innagurated in 1978. Istiqlal itself is located right across the Cathedral Church. Istiqlal meaning “independence” is a reminder of Indonesia’s struggle for national independence as well as a symbol of religious tolerance.

The Splendid of Lombok (Seronok Lombok)

I did what everybody else did, take around in Lombok island after hiking Mount Rinjani. Bali’s close neighbour but main competitor at the same time, offer to it’s visitors a complete set of wonders. Sea to summit. Although only a day but I am grateful given a chance to visit some of the spot, Senggigi beach, Gunungsari traditional market, Batu Bolong temple, Sade traditional village, Tanjung Aan and Selong Belanak beach. Personally I prefer Lombok since its relatively not as busy as the island of God, Bali. It’s cultural acculturation also more pronounced while Bali dominated by Hindu. Hopefully I can go there again someday. What a splendid of Lombok.