Melancong ke Andong ini ringan dan menyenangkan. Kesimpulannya sepasang lutut saya masih bisa diajak menanjak. Sepertinya perlu diulangi mengajak keluarga rekreasi, menguji dengkul lagi, dan tentu saja berburu foto yang lebih memikat hati.
“Kok ramai begini. Ini gunung atau pasar”, gerutu saya melihat suasana di sekitar basecamp Dusun Sawit penuh dengan kendaraan bermotor parkir. Mungkin karena tanggal merah dan hari terakhir sebelum puasa. Banyak yang ingin memanfaatkan waktu tersebut untuk mendaki, termasuk saya. Mood membaik setelah menata hati. “Ingat, niatmu di sini hanya melatih kaki yang lama tak dipakai menanjak”, ujar saya pada diri sendiri.
Pendakian terakhir kali adalah 5 tahun lalu, Merbabu via Suwanting-Selo. Maka saya tak berekspektasi macam-macam. Keputusan membawa kamera pun baru diambil di detik terakhir sebelum berangkat. Bahkan tulisan ini juga sama sekali tak direncanakan. Baru setelah turun gunung terpikir karena lama tak menulis panjang. Jadi tema melancong pertama kali ke Andong adalah berlatih untuk lahir kembali.
Gunung Andong jadi pilihan logis dengan dua alasan. Berada di Magelang yang jaraknya tak terlalu jauh dari Jogja serta treknya yang dengar-dengar ramah kaki dan tak butuh waktu lama untuk didaki. Saya memilih naik lewat jalur Sawit karena paling populer dibanding yang lain seperti Pendem dan Gogik. Motor pun saya pacu bersama seorang teman yang juga lama tak mendaki. Butuh waktu dua jam menggapai basecamp Sawit. Tambah satu jam istirahat makan pagi di Alun-alun Magelang.
Usai registrasi kami berjalan kaki menuju gerbang masuk. Jarang saya jumpai pendaki serius dengan tas kerir besar lengkap dengan peralatan tempur yang jamak nampak di gunung-gunung besar. Secara umum orang-orang yang datang juga nampak seadanya. Pantas saja banyak yang bilang Andong cocok untuk pendaki pemula.
Oke mantap. Berarti memang cocok untuk saya yang hanya berniat melatih fisik. Rute pertama langsung menanjak. Kaki seketika diajak tarik gas kencang. Untung jalannya berupa anak tangga rata terbuat dari kayu jadi kaki tak terlalu terbebani. Hutan pinus mendominasi lanskap membuat perjalanan terasa teduh.
Persis di depan kami adalah pasangan suami istri dengan kedua anaknya yang berusia lima tahun dan lima bulan. Sementara di belakang kami sekelompok mbak-mbak bergamis dengan peralatan piknik dan perlengkapan bersosial media. Beberapa orang yang berpapasan hendak turun juga banyak yang hanya membawa tas kecil dan kantong kresek. lebih mirip tamasya ke bukit belakang rumah, pikir saya.
Tak lama berselang kami disalip seorang kakek yang berlari sambil hanya membawa sebotol air minum. Ya, ya. Saya memang pernah dengar Andong juga jadi ajang latihan bagi mereka penggemar trail run. Tapi seorang lansia? Hmm ego laki-laki saya sempat tersentil. Tapi kali ini saya cuma berandai-andai betapa beruntungnya saya jika bisa sefit itu kelak kala usia senja.
Setelah tiga pos lanskap mulai terbuka. Tiada lagi pepohonan menjulang. Jalan kini berupa tanah berbatu namun masih terbilang ramah. Tak lama kami sampai di puncak pertama yaitu Puncak Makam Joko Pekik berupa makam yang dibangun menyerupai rumah pendopo. Tangan saya masih bersih tak terpakai untuk berpegangan. Tak jauh dari situ kami sudah sampai di Puncak Andong berketinggian 1726 mdpl.
Saya terbelalak melihat jam tangan. Kami mendaki sangat santai maka ekspektasi 2 jam sampai puncak sepertinya wajar. Nyatanya hanya butuh satu jam lima belas menit. Pantas jika di puncak yang ramai ini lebih banyak terlihat orang-orang berdandan lebih mirip liburan keluarga ketimbang mendaki gunung. Seperti biasa saya pun segera menyabet kamera dan mengabadikan pemandangan.
Lagi-lagi saya menggerutu. Alih-alih biru langit, warna putih kabut lebih sering nampak. Pemandangan cantik di bawah sana berupa perkebunan sayur dan perkampungan menjadi terlihat samar. Cuaca hari itu pun terbilang aneh, nyaris tak ada angin dan justru terasa lebih panas dibanding di bawah terutama ketika kabut mendekat. Namun sekali lagi otak menegur hati. “Hei ingat, kameramu pun bahkan seharusnya tidur nyenyak di drybox. Tak kehujanan di musim hujan pun sudah syukur”. Hati saya pun segera tenang kembali.
Perjalanan berlanjut menuju titik ke tiga yaitu Puncak Alap-Alap. Pemandangan paling indah sekaligus berbahaya ada di sini. Setelah dari tadi saya melalui jalan yang cukup lebar, untuk pertama kalinya saya harus melalui jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu orang dengan kiri kanan berupa jurang ke bawah. Ini yang tadi saya lihat di papan peta disebut sebagai Jembatan Setan. Entah kenapa orang Indonesia suka sekali mengasosiasikan hal-hal beresiko dengan sesuatu yang bersifat supranatural. Relijius sekali, mungkin.
Lima menit kami sampai di Puncak Alap-Alap. Oke fix, kalau nanti ke sini lagi dan bermalam saya pilih buka tenda di sini ketimbang di Puncak Andong. Meski sedikit lebih rendah tapi pemandangannya lebih menggoda bagi saya. Dari sini terlihat dua puncak yang lain membentuk lekukan punggung bukit menyerupai bentuk kurva gelombang longitudinal. Digabungkan dengan penampakan sawah dan perkampungan warga di bawah. Aduhai. Hanya kurang langit biru saja ini.
Segelas jeruk hangat dan tempe mendoan menemani kami di dalam warung yang terbuat dari terpal dan bekas kain reklame. Betul. Ada warung di puncak gunung. Tak hanya di Puncak Alap-Alap tapi juga di dua puncak yang lain. Logistik yang kami bawa pun jadi sering menganggur. Lain kali ke sini tak perlu bawa bekal yang banyak. Warung-warung ini siap menyelamatkan urusan perbekalan.
Setengah jam menghabiskan waktu mengobrol dengan pemilik warung dan pengunjung lain, kami memutuskan turun gunung melalui Jalur Pendem yang lebih sepi. Sepanjang perjalanan saya hanya tiga kali berpapasan dengan pendaki lain. Rute Pendem ini memang sedikit lebih galak. Banyak jalur sempit dan lebih curam meski bentang lanskapnya mirip dengan jalur Sawit. Akhirnya tangan saya terpakai memegang batang pohon. Pantas hanya sedikit yang melirik rute ini. Satu jam lima belas menit kami tempuh sampai ke gerbang Pendem, ditambah 10 menit berjalan kaki kembali ke gerbang Sawit.
Melancong ke Andong ini ringan dan menyenangkan serta menghasilkan kesimpulan bahwa dengkul saya masih bisa diajak menanjak. Tinggal menaikkan level beban dan jarak. Maklum hari ini di badan hanya menempel tas kamera kecil dan sebotol air mineral. Lepas tengah siang saya pulang dan berjanji untuk kembali. Menguji dengkul lagi, membawa anak istri berekreasi dan tentu saja berburu foto yang lebih memikat hati.