Jembatan Duwet atau Kretek Duwet mungkin kurang kondang. Namun demikian ia telah lama memudahkan aktifitas ekonomi antar dua wilayah yang dibatasi oleh Sungai Progo. Lebih dari itu faktor sejarah dan struktur gantungnya menjadi daya tarik tersendiri. Bukan hanya untuk berswafoto semata, namun mengenang kembali suatu masa ketika republik ini tengah dilahirkan.
***
Tak sekondang Suramadu di Surabaya atau Ampera di Palembang, pun ukurannya kecil dan berada di lokasi yang cukup jauh dari pusat kota, Jembatan Duwet tetap memiliki keunikan dan daya tarik tersendiri. Dibangun pada tahun 1930an, Kretek Duwet, begitu warga setempat menyebutnya, bukan hanya menghubungkan dua desa melainkan juga dua propinsi. Jembatan ini merupakan penyambung Dusun Duwet, Desa Banjarharjo di Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, D.I Yogyakarta dengan Dusun Gutekan, Desa Bligo, di Ngluwar, Keabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Daya tarik Jembatan Duwet adalah struktur gantung dan faktor sejarahnya.Dulu dibangun oleh Belanda pada tahun 1930an untuk memudahkan akses logistik antar dua wilayah yang dipisahkan oleh aliran Sungai Progo selebar 100 meter. Namun saat masa kemerdekaan jembatan ini sengaja dihancurkan oleh pejuang Indonesia untuk menghambat gerak tentara Belanda. Pasca kemerdekaan Kretek Duwet dibangun kembali pada 1960 untuk memudahkan mobilitas warga. Lalu pada 2008 jembatan gantung ini memperoleh status sebagai warisan budaya dan bangunan bersejarah non gedung dari Gubernur DIY, Sri Sultan HB X.
Baca juga: Mengintip Dapur Mobil Hias Yogya
Hanya kendaraan roda dua dan pejalan kaki saja yang bisa melintas mengingat lebar jembatan hanya 1,5 meter dan faktor usia. Walau demikian Kretek Duwet berperan penting dalam menggerakkan ekonomi antar dua wilayah selama lebih dari setengah abad. Bahkan pada 2010 jembatan ini memiliki fungsi yang lebih krusial dibanding sebelumnya. Kala itu lahar dingin letusan Gunung Merapi membanjiri sejumlah sungai dan membuat beberapa jembatan di jalan utama penghubung Yogyakarta dan Magelang menjadi beresiko. Berkat konstruksi gantung, Kretek Duwet relatif aman karena tidak memiliki penyangga yang menancap ke dasar sungai.
Pada 2015 lalu pemerintah Kabupaten Kulonprogo melakukan renovasi besar-besaran pada Kretek Duwet. Perbaikan yang menghabiskan dana Rp 2,3 milyar tersebut meliputi penggantian besi, penggantian lantai kayu, pembangunan dinding penahan longsor, pemasangan pengaman tambahan, pengecatan dan pembuatan prasasti cagar budaya. Selain faktor keamanan, renovasi tersebut dilakukan sebagai bentuk pelestarian sejarah sekaligus alasan estetis.
Baca juga: Merapi, Menjamah Halaman Belakang Rumah
Selain warga yang rutin melintas, Kretek Duwet juga dikunjungi oleh mereka yang ingin menghabiskan waktu luang. Umumnya adalah penggemar sejarah namun ada yang ingin sekedar berswafoto. Berjalan kaki di atas jembatan gantung yang bergoyang sembari melihat Kali Progo yang mengalir deras di bawah menjadi aktifitas menarik bagi mereka yang senang memacu adrenalin.
Pagi hari merupakan waktu paling tepat untuk mendatangi Kretek Duwet. Ramainya aktifitas warga khas pedesaan dengan hangat cahaya pagi adalah pemandangan yang sangat menarik untuk diabadikan. Selain itu pada kedua ujung jembatan terdapat pasar kecil yang umumnya menjual komoditas buah musiman seperti durian. Kegiatan dagang ini hanya berlangsung menjelang tengah hari.
Kretek Duwet memang kurang kondang dan tidak secara khusus difungsikan sebagai obyek wisata. Namun seiring laju dunia informasi, definisi destinasi wisata pun semakin merentang. Perlahan tapi pasti Jembatan Duwet mulai menambah peran sebagai daya tarik bertema sejarah. Ini menjadi keuntungan bagi Kulonprogo dan Magelang karena memperbanyak alternatif tujuan wisata khusus. Apalagi Kulonprogo kini dalam proses menjadi wajah baru Propinsi D.I Yogyakarta seiring dibangunnya bandara New Yogyakarta International Airport di kabupaten tersebut.
Ku selalu membayangkan replingan di jembatan ini, seru kayanya
aku cukup membayangkan makan durian di tengah2nya saja