“Ya, bagus”, seru lelaki bertopi baret itu kepada beberapa anak yang sedang melukis. ”Jangan takut. Teruskan saja”, lanjutnya. Kalimat ini tak asing bagi mereka yang mengalami masa kecil di era 1970-1990an. Tayangan televisi berdurasi setengah jam tersebut seolah menjadi tontonan wajib anak-anak di masa itu. Saat itulah seminggu sekali anak-anak duduk manis ndomblong di depan layar kaca. Kaum ibu pun senang karena mereka tak perlu repot mengawasi si buah hati yang biasanya tak bisa diam. Sihir datang dari si pria bertopi baret dan berkaca mata lebar dengan kalimat yang khas itu.
Selama beberapa dekade Tino Sidin telah menancapkan dengan erat ke dalam otak beberapa generasi tentang kegiatan melukis melalui sebuah attitude verbal dan non verbal; kacamata lebar, topi baret, kemeja warna-warni, dan tentu saja mantra ‘ya bagus’. Memori kolektif itu kini diabadikan dalam rupa sebuah ruang semi publik bernama Taman Tino Sidin yang berlokasi di Jalan Tino Sidin no 297, Kadipiro, Bantul, Yogyakarta. Awalnya digagas oleh keluarga sang legenda sebagai omah tetenger atau penanda bagi masyarakat bahwa seorang Tino Sidin pernah tinggal di alamat tersebut. Pelukis kelahiran Tebing Tinggi, Sumatra Utara itu sendiri lahir tahun 1925 dan tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1970.
Mengingat nama akbar Tino Sidin akhirnya ide itu berkembang menjadi seperti sekarang yaitu museum, galeri dan ruang seni. Bantuan mengalir dari beberapa pihak termasuk pemerintah melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementrian Pendidikan & Kebudayaan RI. Menurut arsiteknya Yoshi Fajar Kresno Murti, Taman Tino Sidin didesain untuk mensinergikan fungsi ruang privat dan publik. Konsep yang cair, hangat dan menginspirasi pun diusung. Ini tak lain sebagai representasi sosok Tino Sidin yang tanpa sekat. Hingga akhirnya pada 4 Oktober 2014 Taman Tino Sidin diresmikan oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan Mohammad Nuh bersamaan dengan peluncuran buku biografi berjudul ‘Tino Sidin : Guru Gambar dan Pribadi Multidimensional’. Ruang semi publik itu sendiri dapat dikunjung dari Senin sampai Sabtu dengan tiket Rp 5000.
Alih-alih seperti Basoeki Abdullah atau Affandi dengan lukisan mahalnya, Tino Sidin lebih dikenal sebagai guru lukis. Di luar acara ‘Gemar Menggambar’ di TVRI selama hampir 3 dekade yang melambungkan namanya, pria yang juga penulis, aktor dan sutradara tersebut aktif memberi kursus menggambar pada anak-anak di sejumlah tempat. Karena itu tak ada koleksi ala mahakarya terpampang di dinding Taman Tino Sidin. Bangunan tiga lantai itu hanya memamerkan sejumlah lukisan dan sketsa bergaya dokumenter serta memorabilia sang guru lukis.
Beberapa sketsa bahkan menggambarkan suasana perjalanan atau pertemuan sekelompok orang. Tino Sidin sendiri pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan sebagai tentara pelajar Brigade 17 Batalyon X Yogyakarta. Lukisan pria yang meninggal pada 1995 itu memang sederhana dan mudah dicerna. Tengok saja koleksi paling besar berukuran 4,85 m x 1,35 m di lantai dua bejudul Jaka Tarub (1968). Tak ada guratan ekspresionis ala Rembrandt atau Picasso. Yang ada hanya pengembangan garis lengkung dan garis lurus yang menjadi andalannya saat mengisi kursus. Atau bisa jadi hanya berawal dari angka atau huruf yang seperti ia ajarkan di layar kaca.
Seperti yang tertulis dalam buku biografi Tino Sidin, sahabat dekatnya Daoed Joesoef sering dititipi protes, memintanya melarang Tino mengajar seperti yang biasa dilakukan di televisi. Alasan mereka cara Tino mengajar tidak sesuai dengan kaidah keilmuan seni lukis dan tak pernah memberi kritikan. Daoed yang pernah menjabat Menteri Pendidikan menganggap protes itu kurang tepat. Baginya Tino sekedar ingin menanamkan rasa senang menggambar pada anak-anak melalui metode yang sederhana. Dengan itu ditambah mantra ‘ya bagus’ diharapkan anak-anak lebih bebas dan bersemangat menggambar. Karena seperti halnya membaca dan menghitung, menggambar adalah ketrampilan dasar yang kelak akan dipakai oleh banyak profesi. Tino mengajar menggambar bukan untuk menghasilkan seorang pelukis sebagaimana pelajaran olahraga diberikan bukan untuk mencetak atlet namun agar sehat. Karena itu nama acaranya Gemar Menggambar bukan Belajar Menggambar.
Kini Taman Tino Sidin telah hadir di tengah masyarakat. Bukan seperti museum atau galeri umumnya sebagai wadah penikmat seni melainkan mengenang kembali semangat dan perjuangan seorang Tino Sidin dalam menumbuhkan kecintaan akan seni khususnya menggambar pada anak-anak. Menjadi penting karena seni berperan besar dalam pembentukan karakter manusia yang lembut sekaligus peka terhadap sekitar, generasi masa depan Indonesia yang ‘ya bagus’.
Saya yang termasuk generasi ndomblong itu. Terimakasih sudah menulis tentang ini. Tabik
salam dari sesama ndomblong. ha2…
salam kenal dan terima kasih telah berkunjung
Aku malah baru tahu ini mas. Apa karena tidak banyak orang yang mengeksplor dan menulis atau aku yang kurang banyak baca serta mencari informasi tentang lukisan. Setahuku hanya Afandi saja.
relaif baru jadi belum banyak yang tau, mungkin
Jadi keinget dulu jaman kecil selalu mantengin TVRI sore buat nonton acara ini. Sampai sekarang jadi suka gambar gara-gara Pak Tino Sidin. Satu hal yang paling diingat, beliau selalu bilang bagus ke gambar anak muridnya. Thanks for bringing back my childhood memories, mas!
Dan jangan lupa, sempatkan berkunjung langsung supaya memorimu benar2 kembali.