Ia seolah menggoda mata untuk mencuri pandang dan tak jarang saya masuk dalam perangkapnya. Harusnya itu tak dilakukan mengingat saya sedang memegang kendali sebuah motor. Apalagi kami tengah menempuh rute neraka. Jalan Raya Blabak yang mengantar menuju Selo layaknya medan perang saat itu. Kami harus menghadapi puluhan truk material yang berhilir mudik. Belum lagi lubang dan endapan pasir bertebaran laksana ranjau. Benar saja. Dua orang kawan yang berboncengan sempat terjatuh akibat pasir yang mengurangi daya cengkeram ban. Beruntung mereka hanya mendapat lecet. Celaka begitu nyata. Namun gunung yang berhias sekian banyak klenik nan mistis ini memang memiliki daya pikat yang sulit ditolak.
Tiba-tiba ingatan masa lalu merasuk. Dua dasawarsa lebih Merapi senantiasa mengisi sudut mata ketika saya bepergian dalam kota. Bagi warga Yogyakarta ia selalu disinonimkan dengan arah utara. Selama itu pulalah ia seolah memanggil dan melambaikan tangannya untuk bertamu. Wujudnya legam nan kokoh seolah mencuat di antara bangunan kota, berpadu dengan langit biru dan terpaan hangat sinar matahari pagi serta berhias awan tipis. Sebuah fragmen memori yang eksotik lagi klasik.
Namun kepingan ingatan akan Merapi tak selalu indah. Membayangkan seantero kota terkubur debu vulkanis seperti yang terjadi pada 2010 lalu bukanlah pemandangan yang menyenangkan. Belum lagi korban jiwa dan harta yang berjatuhan. Namun entah mantra macam apa yang ditebarkan hingga membuat penduduk sekitar enggan meninggalkannya. Beberapa orang mengatakan letusan Merapi itu hanyalah peringatan dari Sang Kuasa agar manusia menyingkir sebentar karena Ia sedang menyuburkan kembali tanah di sekitarnya. Apapun, bagi saya saat itu Merapi seolah dekat di mata jauh di kaki. Setiap kali saya berjanji untuk memenuhi undangannya maka setiap kali itu pula saya lalai. Sudah lebih dari satu dekade melanglang buana menjelajah tanah orang, halaman belakang rumah masih saja tak tersentuh. Hingga saat ini pun tiba.
Akhirnya setelah melahap aspal sekitar 50 km dari Yogyakarta kami sampai di Selo, sebuah desa kecil berketinggian sekitar 1600 mdpl yang diapit dua tonggak bumi Merapi dan Merbabu. Fitur stategis ini membuat Selo menjadi pilihan logis bagi para pendaki. Namun bagi mereka yang berada di Yogyakarta, situasi ini sebenarnya kurang menguntungkan. Selain Selo dulu Merapi memiliki dua jalur pendakian favorit lainnya, Babadan dan Kinahrejo. Yang disebut terakhir adalah yang terdekat namun erupsi 2010 memutus jalur pendakian keduanya dan praktis menjadikan Selo di sisi utara sebagai satu-satunya opsi.
Saya dan dua orang teman memulai pendakian dari Selo ketika hari sudah sore. Rencana tiba di tempat buka tenda sebelum malam pun gagal. Gelap menyergap ketika kami bahkan belum setengah jalan. Tak ada rute bonus untuk mengistiratkan kaki. Cahaya headlamp menjadi satu-satunya penerang mengingat saat itu tengah bulan tua. Namun selalu ada hal yang bisa disyukuri dalam setiap kondisi. Gelap yang identik dengan kerawanan juga membuat jangkauan kontak visual yang sempit. Ini justru menjadikan saya lebih fokus dalam setiap langkah kaki yang diambil. Beruntung rute yang ditempuh relatif pendek dan saat itu cuaca bersahabat. Tuhan memberkati.
Setelah empat jam menjejaki jalur sepanjang hampir 3 kilometer akhirnya kami tiba di tujuan. Pasar Bubrah, tanah lapang berelevasi 2600 mdpl yang biasa digunakan para pendaki untuk bermalam sekaligus titik awal pendakian ke puncak. Saat itu tenda yang berdiri masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Nama tempat ini begitu melegenda terkait berbagai cerita mistis yang mengiringi. Ia dipercaya sebagai pasar atau tempat beranjangsana bagi para makhluk astral. Ini tak terlepas dari mitologi Merapi sebagai istana lelembut di sisi utara berpasangan dengan istana yang lain di pantai selatan Jawa. Keduanya terhubung melalui sebuah garis lurus imajiner yang melewati Kraton Yogyakarta sebagai titik tengah. Berabad-abad klenik mikrokosmos ini mewarnai kehidupan orang Jawa di sekitar Merapi terutama Yogyakarta. Sang tetangga, Merbabu, bahkan konon katanya lebih ‘bernuansa’. Entah mistis apalagi yang menyertai.
Tapi bukan itu kekhawatiran terbesar. Karena berupa tanah terbuka dan berada diatas zona vegetasi, praktis tak ada dinding alam yang berlaku sebagai pelindung jika cuaca tak menguntungkan. Tak banyak yang bisa diperbuat jika sampai angin kencang atau hujan deras menyerang. Apalagi beberapa hari terakhir langit masih belum bosan menyirami bumi walaupun sudah memasuki Agustus. Namun pikiran buruk itu perlahan menghilang seiring makin banyak tenda yang berdiri. Setidaknya akan ada banyak rekan seperjuangan kalau sampai itu terjadi. Suasana hati makin cerah mendapati dirgantara yang penuh kilau bintang tak terhingga. Sang Bimasakti tengah berdiri dengan ujungnya tepat berpijak di puncak Merapi. Rigil Kent, Hadar dan Acrux menjadi yang paling terang. Saturnus dan Mars juga tak mau kalah menyingkap kerlipnya. Sementara itu di bawah sana Boyolali dan Magelang ikut meramaikan malam dengan gemerlap lampu kotanya tepat dibawah Merapi dan Merbabu. Ya, si tetangga terlihat jelas dari sini Setelah puas mengambil gambar saya pun terlelap dalam tenda ditemani riuh rendah orkestra alam; derap kaki pendaki yang masih terus berdatangan, hembusan angin malam, dan…..suara dengkuran.
Jam lima pagi, masih gelap buta. Barisan titik cahaya dari senter para pendaki yang melakukan summit attack terlihat jelas. Puncak yang sempit dan banyak orang yang hendak menuju kesana sepertinya kombinasi yang kurang tepat. Maka kami pun sengaja memilih meluangkan waktu menikmati matahari terbit dari depan tenda. Hangat sinar mentari perlahan menjadi penawar rasa dingin yang terus dihembuskan oleh angin sedari malam. Rasa menggigil perlahan pudar walau tak pernah benar-benar sirna. Sang surya mulai muncul dari balik peraduannya. Pemandangan matahari terbit adalah menu wajib saat berada di ketinggian. Klise yang tak pernah membosankan. Hamparan awan putih menyelimuti dua kota yang semalam masih jelas nampak. Pasti di bawah sana tengah mendung. Sementara di atas sini kerumunan manusia merayakan pagi dengan berbagai polah. Mulai dari mengeluarkan kain berwarna merah dan putih. Ada pula yang berfoto dengan secarik kertas yang tertulis sebuah nama. Ah, di atas gunung segala sesuatu memang terasa lebih syahdu. Saya termasuk mayoritas, sekedar menatap horison sambil sesekali mengambil gambar.
Menjelang setengah delapan pagi saat bau belerang samar tercium. Hampir semua gunung yang pernah saya datangi memiliki jalur menuju puncak yang relatif tak banyak berubah. Merapi tak memiliki itu karena tingkat aktifitasnya tinggi. Akhirnya setelah satu jam mendaki pasir dan batuan kami tiba di ketinggian 2930 mdpl. Saya tak bisa membayangkan tempat yang sempit ini dipenuhi begitu banyak orang. Kanan kawah aktif, kiri jurang menganga. Bukan pilihan yang menyenangkan untuk melukai diri sendiri. Saya jadi teringat berita setahun yang lalu. Seorang pendaki jatuh ke lereng kawah setelah berswafoto di atas puncak tertinggi tepian kawah dan dievakuasi beberapa hari kemudian tanpa nyawa. Kini saya mendapati beberapa orang melakukan hal yang sama. Entah kenapa saya tak pernah merasa itu sepadan. Semoga Tuhan melindungi mereka.
Sementara itu dalam hati tak ada euforia. Rasa haru biru yang biasa hadir ketika sukses menggamit tanah tertinggi kini memilih absen. Yang membuncah justru perasaan lega. Akhirnya halaman belakang rumah terjamah. Hutang bertahun-tahun itu lunas juga. Merayakan perasaan seperti itu paling tepat cukup dengan sekedar duduk dan menatap jauh tanpa mempedulikan tingkah manusia yang lain. Melamun yang khusyuk.
Tiba-tiba saya teringat sebuah kabar burung tentang Mbah Maridjan almarhum. Konon katanya semasa hidupnya ia sering berkeliling Merapi bahkan naik sampai puncak hanya dengan mengenakan perlengkapan seadanya, jaket, sarung dan sandal jepit. Tak lain tak bukan dengan satu tujuan membaca tanda-tanda alam. Sepertinya ia diberkati dengan indra keenam berupa kepekaan hati dan rasa, atau mungkin ia mendapatkannya karena terbiasa. Entahlah. Yang jelas semua itu dilakukan atas nama pengabdian sebagai juru kunci bahkan hingga wedhus gembel Merapi sendiri yang merenggut hayatnya.
Dua puluh lima menit saja waktu yang saya butuhkan untuk kembali ke tenda. Dua jam kemudian kami telah mengemasi semua perlengkapan dan siap untuk meninggalkan Pasar Bubrah. Perjalanan turun itu sesungguhnya tak seindah yang dibayangkan. Memang tak semelelahkan ketika naik namun justru menuntut konsentrsi ekstra. Dan saya kesal dengan diri sendiri karena terpaksa berjalan lebih lambat dari seharusnya. Di sepertiga terakhir bahkan saya harus berjalan mundur karena rasa sakit pada jari-jari kaki yang terus menerus digunakan untuk mengerem. Ini adalah yang kedua kalinya. Mungkin cara berjalan saya yang salah atau saya mengenakan alas kaki yang kurang nyaman, atau gabungan keduanya. Entahlah. Yang jelas rasa tidak nyaman ini menjadi PR tersendiri. Namun yang terpenting sekarang saya tak lagi menanggung beban. Saya pulang dengan perasaan yang ringan. Pun di rumah kini saya bisa menatap Merapi dengan kepala tegak. Halaman belakang rumah telah terjamah.
aku selau takut ke merapi… takut kehabisan air….
Kemarin kita bertiga bawa 2 aqua besar dan masing2 bawa satu aqua sedang dan ternyata cukup.
Huaa. fixx, ini blog yang membuatku banyak belajar. tata bahasa, teknik pengambilan gambar, alur cerita. sumpah. keren mas artikel2mu. hihi. udah baca dua blog dan g bosen.
Merapi memang belakang rumah, rumah pertama saya di Klaten, tepatnya Jalan Deles Indah. tapi ndak pernah mendaki Merapi. Rumah kedua di Sleman, juga belum pernah melakukan pendakian Merapi.
hehe. Milky way yg cakep..
Salam kenal
Hannif insanwisata.com
Halo Hanif
terima kasih. aku juga masih banyak belajar kok. Btw Slemannya dimana?
aku ngekos d kawasan UGM mas. d sendowo
Cocok, hayo lah diatur ketemuan awal sept nanti
Entah kapan bisa ke Merapi langsung dan menikmati malam di puncaknya. Rasanya indah sekali memandangi bintang-bintang 😀
ojo kesuwen. selak pindah merapine.wekekeke…
jadi rindu merapi, heuheuheu
Bertemu adalah satu2nya obat rindu.
Salam kenal. terima kasih telah berkunjung
Saya merinding kalau camp di Pasar Bubrah, kan gak ada naungan, rawan badai dan gejala alam lainnya. Foto-foto dan bertuturnya keren Mas 🙂
Untungnya kemarin ga ada macem2 kecuali angin yang lumayan kencang dan patok tenda yang sempat lepas.
Tanah Pasar Bubrah emang keras kan Mas, saya pas nenda lebih memilih memancang tenda pada batu-batuan hehe.
Iya,kemarin juga ngiket ke batu. tapi ada yang lepas kena angin
Nice story mas. duh jadi kangen Pasar Bubrah. meski kalo siang panasnya ga ketulungan, tempat itu selalu sukses membuat saya kangen. Btw, Merapi apa kabar mas? 😀
Halo, terima kasih sudah berkunjung.
Terakhir Merapi sih masih baik2 aja. Masih disitu juga kan. :p
Keren2 fotonya! Tapi pendakian pas puncak agak serem curamnya…..hehe…maklum, bukan anak gunung tapi pengen sekali2 coba naik gunung 😉
Halo Susan,
terima kasih telah berkunjung. Iya nih kangen ngegunung lagi tapi cuaca belum mendukung. btw salam kenal