Some say, it will transformed into a modern superblock. Colomadu already found its first doom almost two decades ago. Now the ex-sugar mill which is located at Karanganyar regency, Central Java is waiting for the second one.
A woman named Nyi Pulungsih played a significant role behind the suiker fabriek. Her gravesite can be found in the middle of residential area just north of the mill. She was one of concubines of the Surakarta king during period 1853-1881, KGPAA Mangkunegara IV. She had a great role in helping her husband to establish the mill in 1861. Nyi Pulungsih was a chinese woman but until now there is no sure information about her birth name. Colomadu itself is a given name by Mangkunegara IV means mountain of honey. It was a common for the early javanese people to identifiy sweetness as honey.
Thanks for her services, Colomadu people annually held cengbeng, kind of pilgrimage tradition and do jamasan (washing) her tomb before the starting of milling season. They did the same tradition to The Mangkunegara IV Monument just front of the mill. Colomadu had the first production two years after its establishment. The owner also built a huge water reservoir about ten kilometers north west of the mill named Waduk Cengklik a time before to irrigate the sugar fields around it. Having addicted to sweet money, ten years later Mangkunegara IV then built the second one named Tasikmadu also in Karanganyar regency. Again he returned to entrust the construction to the same German engineer, R. Kampf.
Like other industries, Colomadu had its roller coaster life. Before his grave, Mangkunegara IV converted Colomadu’s legal status from private to royal property in a hope of better luck. Unfortunately his successor The Mangkunegara V didn’t meet the expectations. He was not such a good king during his short period 1881-1896 and also brought a bad luck for Colomadu. He loved to waste the royal treasure for his own personal interests according to some resources. Colomadu even been mortgaged to the Dutch to pay his debts. Mangkunegara VI who governed from 1896-1916 undertook a massive savings to save the royal business. He made a salary cut to the workers and officers even himself as a king up to forty percent. The policy gained a controversy but later it was succesfull. Colomadu had no longer unde a debt.
A year after the proclamation of Indonesian independence in 1945, political upheaval occured in Surakarta. The royal goverment of Mangkunegara and Kasunanan Surakarta abolished and incorporated into the Regional Council of Surakarta. The major shift also brought an impact to all Mangkunegaran owned property including Colomadu. In 1947 Indonesian Government issued a regulation about state-owned company named The Plantation Company of Indonesian Republic (PRRI) which means since that moment Colomadu was under authority of the Republic of Indonesia.
As the time both production of Colomadu and Tasikmadu tumbled off as result of the aging machines. The scarcity of spare parts which only available in German and highly maintenace cost forced Indonesian government to sacrificed one of them. Colomadu became the unlucky because of the surrounding sugar fields shrinking drastically. Mostly converted to rice field and settlement. As the result it could not meet the minimun production capacity. In 1997 finally Colomadu carried out its last production. After that many its machinery dismatled and transferred to Tasikmadu as spare parts.
What’s left now just an abandoned land. Car garage, warehouses, lorry emplacement, water tower, head motorman residence and Ndalem Besaran. The last one is building once used as residence for the head administrator or plant director. One of the room was specially designed as a bedroom for the Mangkunegara IV during overnight visit. A light renovation has just applied to the house due to filming session took place a few days ago. Sadly the other houses located in front of the mill do not have the same fortune. Those houses that built for the plant officers looked so awful.
There are plenty of wreckage and rotten mechanical parts left behind inside. The floor is flooded by metal and glass cut. Better to think twice before making a step. The danger also threatens from above. The hanging pieces of the zinc roof are ready to fall anytime. At the boiler room, a mixed faint smell of bagasse and oil provoke an imagination. What a life here. Big grinder crushing cane mercilessly, back and forth lorry, noisy machine, stifling sauna of power generation room, hard sweating workers, and above there a small compartment connected to many area of the plant. The supervisor stood and watched the whole hustle of Colomadu there, maybe. Nowadays what’s remain are debris and dust. The noisy life on the past, now just an empty cold. Colomadu couldn’t resist its sad fate.
Now Colomadu is facing an unclarity. There is a historical preservation demand but in other hand an urge about economy. A wasted land results nothing. Now lets waiting for what happen in the future but still in a hope there will be an effort to put the historical and economical needs in line. Cliche. But hoping the best never been wrong before.
The article has been published in Travelounge magazine, April 2016
***
Gosip yang berhembus, ia akan dipuingkan dan sebuah superblok moderen siap menggantikan. Colomadu meregang nyawa hampir dua dekade yang lalu. Kini raganya juga terancam hal yang sama. Pabrik gula yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini tengah menunggu ajal untuk kali kedua.
Nyi Pulungsih yang pusaranya berada di tengah perkampungan tak jauh dari pabrik, berkait erat dengannya. Ia adalah salah satu selir KGPAA Mangkunegara IV yang bertahta sejak 1853 sampai 1881. Sang selir diyakini berperan penting, terutama urusan finansial, dalam membantu suaminya mendirikan usaha agro industri itu pada tahun 1861. Ia adalah keturunan Tionghoa namun tak jelas siapa nama aslinya. Colomadu sendiri adalah nama yang disematkan sang raja yang berarti limpahan madu. Orang Jawa lampau lazim mengidentikkan rasa manis dengan sebutan madu.
Sebagai balas jasa tiap tahun digelar cengbeng, tradisi ziarah dan jamasan (mencuci) makam sang selir sebelum memulai musim giling. Hal yang sama juga dilakukan pada Monumen Mangkunegara IV yang berdiri di depan gerbang pabrik. Colomadu sendiri mulai berproduksi dua tahun setelah didirikan. Waduk Cengklik yang berjarak sepuluh kilometer barat laut pabrik juga dibuat untuk mengairi lahan tebu di sekitarnya. ‘Manis’ nya Colomadu menggoda sang empunya, maka sebuah suiker fabriek didirikan lagi pada 1871 yang berlabel Tasikmadu masih di Karanganyar. Sekali lagi R. Kampf, seorang insinyur Jerman dipercaya menjadi juru bangunnya.
Pasang surut adalah abadi. Mangkunegara V yang bertahta dari 1881 sampai 1896 tak selihai pendahulunya. Beberapa cerita menyebut ia bukan raja yang cakap. Yang lain menganggapnya sebagai hedonis penghambur harta. Bahkan Colomadu yang telah beralih menjadi aset kerajaan sempat dikelola VOC untuk membayar hutang. Misi penyelamatan pun digelar. Mangkunegara VI yang berkuasa pada 1896 sampai 1916 melakukan penghematan akbar. Upah pekerja dipotong. Konon ia sendiri juga merabat haknya sampai nyaris setengah. Kontroversial, tapi waktu membuktikannya sebagai keputusan jitu. Colomadu tak lagi tercekik hutang.
Politik bergolak pasca proklamasi di banyak wilayah termasuk di Jawa Tengah. Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta dihapus lalu dilebur dalam Dewan Pertahanan Daerah Surakarta. Perubahan drastis ini turut berimbas pada aset Mangkunegaran. Pada 1947 pemerintah republik mengeluarkan peraturan tentang Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Artinya mulai saat itu Colo dan Tasik di bawah kuasa republik. PPRI sendiri adalah cikal sebuah BUMN bernama PT. Perkebunan (PTPN).
Usia uzur mereduksi daya dua bersaudara itu. Kelangkaan onderdil dan mahalnya biaya perawatan membuat salah satunya harus dikorbankan. Colomadu ‘terpilih’ karena luas lahan tebu di sekitarnya menciut drastis. Mayoritas terkonversi menjadi sawah dan pemukiman. Musim giling terakhir pada 1997 adalah pemungkas. Setelah itu banyak mesin dibongkar dan dibawa ke Tasikmadu sebagai suku cadang.
Yang tersisa sekarang hanya fasad utama pabrik dan beberapa bangunan berselimut ilalang seperti garasi lori, menara air, rumah kepala masinis lori dan Ndalem Besaran. Yang disebut terakhir ialah rumah kepala administratur alias direktur. Griya besar ini baru saja menjalani perbaikan dalam rangka suting sebuah film. Ia lebih mujur daripada deretan rumah tak terurus di depan pabrik yang dulu didekami para pejabat pabrik. Entah kapan terakhir manusia menjamahnya.
Di bagian dalam banyak serpihan logam dan pecahan kaca berserakan di lantai membuat siapa pun yang masuk harus berhati-hati menjejak. Bala juga mengancam dari atas. Potongan atap seng tampak menggelantung dan siap runtuh kapan saja. Sementara itu di ruang ketel tercium samar aroma ampas tebu berbaur oli yang memancing imajinasi. Betapa hidupnya pabrik ini dulu. Roda-roda besar yang tanpa ampun mengoyak batang tebu, kereta lori berhilir mudik, panasnya ruang pembangkit, para buruh yang bermandi peluh, dan diatas sana sebuah ruang kecil terhubung dengan seantero pabrik. Mungkin di sana lah sang mandor mengawasi kehidupan seantero pabrik. Namun kini hanya ada puing dan debu sebagai warisan utama sekaligus saksi bisu kejayaan yang pernah direngkuh. Hingar dan riuh di masa lalu, dingin dan sepi di masa kini. Lebih mirip lokasi uji nyali. Colomadu sungguh tak kuasa menahan takdir merenggut kehidupannya.
Kini ia berada di persimpangan. Satu sisi menuntut pelestarian masa lalu namun di sisi lain faktor ekonomi meminta lain, lahan kosong yang didiamkan adalah kontraproduktif. Kini hanya bisa menunggu. Semoga ada jalan tengah agar penghargaan pada masa lalu dapat bersanding dengan urusan ekonomi di masa depan. Klise memang. Tapi berharap pada yang terbaik memang tak pernah keliru.
Artikel ini telah diterbitkan di majalah Travelounge, April 2016.
Apik ya, jadi ngebayangin gimana kalau mereka masih produksi di sana, tebu dikerek naik, suara mesin penggilingan, pasti suasananya seru banget. Ayoo ikut yang Tasikmadu bro hihihi *dijitak bininya mas Aan* 😀
Aku dulu pas kecil pernah naik lori trus ngambilin tebu diteriaki petugas lori nya. ha2…
Wah yg tasikmadu bendera putih
Terima kasih sharing ilmu nya.
Pada 1998, saat pertama saya tinggal di Colomadu, lahan perkebunan tebu tersebut masih luas. Mencakup wilayah kecamatan Colomadu Karanganyar, kecamatan Kartasura Sukoharjo, dan kecamatan Banyudono Boyolali. Hasil panen tebu pada tahun tsb dibawa ke Tasikmadu.
Masa itu masih bisa menikmati manisnya tebu sambil diteriaki mandor.
Setelah lahan tidak ditanami tebu, lahan beralih fungsi menjadi persawahan. Dan kini, lahan tersebut menjelma menjadi perumahan dan pabrik industri.
Wah, malah baru tau kalo lahan tebunya sampai ke Sukoharjo. Luas banget dong ya. begitulah kehidupan. ada yang hilang ada yang datang.
btw terima kasih atas kunjungannya. salam kenal
salam kenal mas alfiandi, dulu bapak saya pernah kerja di pabrik gula hehe..waktu kecil kalau ada lori lewat juga ngambilin tebu terus diteriakan petugas..kenangan banget deh ini..PG Tasikmadu PG Colomadu PG Gondang Baru (Klaten) dan PG Cepiring udah pernah kesana belum mas..? horror hahaha.. dan saya pernah tinggal di kompleks2 tersebut hingga akhir kuliah..:D
Kebetulan saya baru pernah berkunjung ke Colomadu & Madukismo di Jogja.
Wah, pasti banyak pengalaman ‘luar biasa’ ya. he2…
Oya, salam kenal juga. Terima kasih sudah berkunjung
Colomadu, baru tahu ini saya, begitu pula nama Tasikmadu. Ikut sedih juga ketika sudah sekian lama pabrik ini melakukan produksi terakhir. Padahal harapan sang raja dulu begitu tinggi ya. Kira-kira bisa gak pabrik ini direnovasi dan dibuat cagar budaya atau semacamnya. Tapi iya nek pihak berwenang kober 🙂
nah itu. yen kober…
Antik ya. Membaca artikel ini, saya jadi terbayang bagaimana pabrik gula Colomandu dulunya beroperasi menghasilkan gula dari tebu.
Tapi dari image yang ditampilkan, saya setuju, kalau Colomandu kini persis seperti tempat uji nyali. Saya sepertinya nggak punya keberanian berkunjung ke sana, kecuali di pugar dan dijadikan tempat wisata.
Halo, terima kasih telah berkunjung.
Iya, semoga bisa dilestarikan menjadi warisan sejarah.
Salam kenal ya
Mas, kalo boleh tau yg foto “Boiler Room” itu sekarang fungsinya sebagai ruang aa ya di De Tjolomadoe? Terimakasih
Iya, sekarang bekas pabrik gula Colomadu jadi tempat umum