The road was jammed by the parade. They were in big number and moved slowly. The narrow road became more narrow. Yet somehow many riders were willing to step aside joined with the locals and enjoy the parade especially the kids who looked so excited. “Bajingan..!! Bajingan..!!”, some shouted. Instead anger, the abuse word was in the air in happy mood. Bajingan in Indonesia refers to bastard, jerk, asshole, etc. Even some of the photographers found them self into the ditch for the sake of good angle. What a blessed bajingan.
In the middle of hot day, the bajingan from entire region of Yogyakarta had a party. They joined the The 2015 Annual Oxcart Festival held in Sultan Agung Stadium, Bantul, Yogyakarta. It was the third and attended by 223 oxcart from 5 communities. The event also held cart modification competition and cart race. It has a different kind of joy as might found on a horserace. Laugh were eveywhere as the running cows still moved slowly and unsteadily.
The Yogyakarta Tourism Board organized the festival with a goal to drive the local tourism as well as to preserve the bajingan. The oxcart were a public transportation commonly used by lower middle class society in Indonesia in the past. In javanese an oxcart driver is called bajingan, short for bagusing jiwo angen-angening pangeran means a good man who loved by god. Its unfixed hour and slow speed lets the passengers frustratingly long waiting in uncertainty. Desperately curious, they muttered the bajingan in a bad mood. By the time the word meaning shifted to some random or annoying person. And eventually became abusive term as it is now. It is one of the version of the story which is widely believed. Whatever the story that day bajingan is a pride.
***
Iring-iringan itu membuat macet jalan. Mereka sangat banyak dan berjalan sangat lambat. Jalan aspal yang sudah sempit menjadi semakin sempit. Namun banyak orang yang rela berhenti bukan terpaksa mengalah tapi justru ingin melihat parade tersebut. Orang tua, remaja dan anak-anak berbaris rapi di pinggir jalan. “Bajingan..!! Bajingan ..!!” beberapa orang berteriak. Namun tak ada yang marah karena kata-kata itu diteriakkan dengan suka cita. Di tempat lain terlihat beberapa tukang foto bahkan sampai menceburkan diri ke selokan demi sebuah sudut gambar yang menarik. Sungguh para bajingan yang terberkati.
Di tengah siang yang terik itu, para bajingan dari seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya sedang berpesta. Mereka menghadiri acara tahunan Festival Gerobak Sapi 2015 yang dipusatkan di Stadion Sultan Agung, Bantul, Yogyakarta. Tahun ini adalah yang ketiga kalinya dengan menghadirkan sekitar 223 gerobak sapi yang tergabung dalam 5 paguyuban. Selain karnaval gerobak sapi, acara tersebut juga menggelar lomba gerobak hias dan lomba balap gerobak. Tidak ada semacam keseruan seperti ketika melihat pacuan kuda. Yang ada justru rasa gemas dan mengundang tawa karena meskipun berlari tetap saja sapi-sapi yang menarik gerobak itu begitu lambat dan sempoyongan.
Festival ini diadakan oleh Dinas Pariwisata Propinsi DIY dengan tujuan untuk menggairahkan daya tarik wisata lokal sekaligus melestarikan para bajingan. Dahulu gerobak yang ditarik sapi adalah moda transportasi umum andalan sebagian masyarakat kecil di Indonesia. Dalam kultur jawa kusir gerobak sapi disebut bajingan, kepanjangan dari bagusing jiwo angen-angening pangeran artinya orang baik yang dicintai tuhan. Karena jam yang tidak tentu dan jalannya yang lambat tersebut sering kali calon penumpang dipaksa menunggu lama. Mereka senantiasa menggumamkan dengan kesal dimana gerobak sapi yang dinanti-nanti. Perlahan kata bajingan bergeser maknanya menjadi orang yang sering terlambat atau orang yang mengesalkan dan akhirnya menjadi kata umpatan seperti sekarang. Itu adalah salah satu versi cerita yang banyak dipercaya. Apapun ceritanya, hari itu menjadi bajingan adalah kebanggan.