Sebelumnya di bagian 1
Suatu malam saya menyambangi salah satu hajatan seni di Desa Tanjungrejo. Pertunjukan ludruk tengah berlangsung namun tak seperti ludruk khas Jawa Timur umumnya. Beberapa yang mencolok yaitu dendang dimainkan memakai dua jenis alat musik gamelan Jawa dan thong-thong ala Madura. Keduanya menelurkan musik yang lebih rancak. Belum lagi penggunaan dua bahasa Jawa dan Madura. Tiba-tiba saya menapak tilas kenangan saat pertama kali melawat ke kabupaten tapal kuda ini beberapa tahun silam. Kala itu saya pikir kota tembakau ini sama seperti daerah lain di Jawa Timur yang didominasi suku Jawa. Maka saya begitu terperangah saat bersua begitu banyak orang Madura di Jember.
Informasi yang saya himpun mengungkap ternyata banyak suku Madura mendiami wilayah Pulau Jawa yang berada di selatan Pulau Madura. Dari Pasuruan sisi timur, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Jember, dan Lumajang. Sementara suku Jawanya hijrah dari wilayah seperti Ponorogo, Tulungagung, Trenggalek, Blitar sampai Kediri. Karena itu cukup sulit menemukan warga yang leluhurnya asli Jember. Dua suku itu bermigrasi berkat iming-iming penghidupan dari agrikultur yang tengah marak imbas tancapan bisnis para perusahaan perkebunan Belanda sejak 1859. Tahun tersebut memang sakral bagi histori Jember karena fungsinya sebagai tengara masa. Sulit bagi radar sejarah mendeteksi riwayat Jember sebelum warsa tersebut. Lupakan tentang Babad Tanah Jember karena berbagai hikayat sebelum tahun itu masih terbentur simpang siur.
Ya, kabupaten ini memang bukan berasal dari sisa kejayaan masa lalu. Tahun berdirinya pun masih terbilang muda, 1 Januari 1929, tarikh yang tersurat dalam staatblad no 322. Peraturan pemerintah Hindia Belanda tersebut mengubah status Jember dari bagian afdeling Bondowoso menjadi regentschap (kabupaten) dengan bupati pertamanya R.T Ario Notohadinegoro. Perubahan status ini terkait kondisi Jember yang mulai ramai dan memerlukan pengaturan administrasi tersendiri. Latar sejarah inilah yang hingga kini menyisakan kegamangan budaya bagi Jember. Enys Kartika menyibaknya kepada saya.
Kami bersua di malam pertunjukan ludruk. Enys mengajak saya berkunjung ke rumah sekaligus sanggar tarinya di Ambulu. Kartika Budaya, label sanggar tari yang ia dirikan pada 2004 lalu. Saya datang ketika Enys sedang melatih beberapa muridnya tari kreasi baru. Beberapa hari lagi mereka akan tampil di acara Festival Pandhalungan di pusat kota. Wanita kelahiran 1975 ini adalah penari sekaligus tokoh seni budaya Jember. Pamornya diakui berkat prestasinya atau anak didiknya tampil di sejumlah pentas nasional dan internasional. Enys membuka bincang dengan usahanya bersama sejumlah pihak yang tengah giat mempromosikan Jember dengan label pandhalungan. Berasal dari kata dhalung dalam bahasa Jawa kuno yang berarti periuk, berpijak dari fakta Jember adalah tempat bertautnya beberapa suku terutama Madura dan Jawa. Semakin ke utara semakin kental nuansa Madura dan sebaliknya. Melting pot inilah yang lantas menimbulkan imbas seperti yang ia sebut di malam ludruk. Gampangnya, sodorkan pertanyaan ‘sesuatu yang asli’ dan warga kota kecil ini akan kesulitan menjawab.
Sebagai daerah baru yang didominasi dua kebudayaan, Jember masih gamang dengan jati dirinya sendiri. Beberapa bentuk kesenian sebenarnya sudah terhubung dengan Jember seperti musik Patrol, tari Lahbako, tari Lengger, Can Macanan Kadduk, dan lain-lain. Namun selalu ada riak keraguan tentang orisinalitas kesenian tersebut. Madura yang di-jawa-kan dan Jawa yang di-madura-kan, seru Enys. Gejolak ini sebenarnya tak perlu dirisaukan berlebihan. Wajar karena rentang umur kota kecil ini masih sangat pendek dan ini adalah proses. Lagipula tidak ada yang benar-benar asli di muka bumi ini. Kata ‘khas’ mungkin lebih pas.
Wanita asal Blitar tersebut mengungkap cerita tentang Lahbako yang sempat memantik perdebatan. Tarian ini awalnya diinisiasi oleh pemerintah Jember pada tahun 1980-an dan dijagokan sebagai ‘asli Jember’. Saat itu seniman senior asal Yogyakarta Bagong Kussudiardja diminta untuk menciptakan suatu tarian yang mencerminkan kriteria yang diharapkan. Legenda tari tersebut lantas menciptakan Lahbako yang menggambarkan proses bercocok tanam tembakau. Namanya sendiri berasal dari kata ngolah mbako, mengolah tembakau. Sayang beberapa pihak tak melempar sambutan hangat karena penciptanya bukan orang Jember tulen dan dianggap belum cukup ‘asli Jember’. Khawatir tarian tersebut tak berumur panjang beberapa seniman lokal memodifikasinya. Kuda-kuda dipertahankan namun dengan pendak (sikap badan) yang berbeda.
Perbincangan kami terhenti sesaat. Enys mengistirahatkan sesi latihan dan meminta murid senior sekaligus asistennya, Brenda Chintya Lucky memeragakan Lahbako versi baru. Musik patrol yang menghentak-hentak pun mengalun dari pemutar musik dan siswa SMA tersebut berlenggak-lenggok. Di tengah jalan Enys tiba-tiba bergabung namun dengan gaya lama. Saya mengerti kini. Kuda-kuda Enys dan Brenda sama, pijakan kaki yang cenderung tegas dan rapat. Namun dari pinggul hingga kepala keduanya menunjukkan gaya yang berbeda. Enys tegak nan anggun ala Jawa sementara Brenda lebih rendah cenderung menonjolkan lekuk tubuh sehingga menimbulkan kesan seksi dan dinamis.
Asimilasi budaya ini belum terarah dan harus segera diarahkan. Begitu kira-kira maksud lontaran kata Enys tentang usaha sejumlah orang, termasuk dirinya, yang tergabung dalam Komunitas Pandhalungan dalam merespon kegelisahan tersebut. Laku ini disambut baik oleh bupati yang belum lama terpilih, dr. Faida, yang disimbolkan dengan meresmikan Rumah Budaya Pandhalungan di daerah Ajung pada 20 Mei 2016. Tanggal tersebut sekaligus menjadi tonggak waktu pencanangan Jember sebagai Kota Pandhalungan. Enys bisa berlega hati karena angin segar bertiup walaupun berbagai tantangan siap menghadang.
Pelesiran saya berlanjut dengan menjumpa sudut-sudut Jember yang beberapa masih sepi dicelotehkan, sekaligus membuktikan Jember bukan hanya tentang JFC dan Papuma. Di Pasar Ikan Puger warna-warni terhampar melalui kapal-kapal nelayan yang menyandarkan tubuh kayunya. Mereka menjadi hiburan sore warga sekitar. Tak jauh dari situ saya bersua Mulyono, 57, bersama rekan-rekannya sesama asal Pasuruan. Para pria itu mengejawantahkan keahlian membuat kapal nelayan. Profesi ini ia dapati sejak dua generasi sebelumnya dan mungkin masih berlanjut karena salah seorang anaknya mulai turut serta bergabung. Masih di pesisir, saya menyapa senja merona di Pantai Payangan yang diapit oleh dua bukit. Sebuah laut menyempit yang berbentuk hati dengan julukan, tentu saja, Teluk Love menjadi daya pikat utama pantai yang sedang santer meraup atensi kalangan lokal.
Sementara itu di Wuluhan saya bergoyang lidah usai mencicip ayam pedas di sebuah warung. Beberapa orang menyebut sajian ini termasuk khasanah kuliner pandhalungan. Ayam pedas sendiri dibuat dengan cara membakar ayam terlebih dahulu lalu merebusnya dengan berbagai bumbu bercita rasa pedas. Selanjutnya saya menghabiskan malam di Kafe Kolong di pusat kota. Nama tempat bercengkerama ini bermakna harfiah, ia berada di bawah Jembatan Bedadung. Fitur ini yang membedakan dengan tempat nongkrong lainnya sekaligus sebagai magnet utama. Taktik jenius pemiliknya Johanes Kris Astono, 46, mengubah tempat yang semula dijauhi menjadi ramai dikunjungi.
Keresahan yang tengah menjangkit rupanya tak cuma tentang identitas namun berkait perkara sosial yang lebih mendasar. Data BPS tahun 2015 menempatkan Jember di nomor satu seluruh Indonesia untuk urusan angka buta huruf sebanyak 167 ribu jiwa. Di tahun yang sama menurut data Kementrian Kesehatan kabupaten ini juga menempati peringkat empat se-Jawa Timur dalam hal HIV/AIDS dengan 2300 kasus padahal tahun 2014 ada di urutan 10. Jawa Timur sendiri menempati peringkat kedua setelah DKI Jakarta. Jawa Timur juga menjadi provinsi penyumbang TKW terbesar bersama NTB. Yang menarik kantong-kantong buruh migran hampir semuanya berada di pesisir selatan termasuk Jember. Hari pemungkas di kota tembakau saya luangkan di tempat yang tengah berbenah dengan isu muram tersebut.
Pagi itu air langit tengah merintik di Ledokombo, 46 kilometer timur pusat kota, ketika satu rombongan pelajar sedang berwisata di sebuah sawah yang diubah menjadi lapangan lumpur. Hari mulai cerah ketika mereka mulai berebut bola dengan badan penuh noda. Keceriaan nampak di wajah anak-anak tersebut. Mereka sedang bermain polo lumpur, salah satu program permainan tradisional yang ditawarkan Kampung Wisata Tanoker kepada pengunjung. Setelahnya anak-anak itu mencoba permainan egrang yang juga menjadi ikon Tanoker. Saya bercakap dengan Farha Ciciek sang pemilik usai rombongan pulang.
Wanita kelahiran 1963 tersebut bersama suaminya Suporahardjo mendirikan Tanoker pada 2009 atas dasar keprihatinan terhadap kampung halaman sang suami. Semula mereka tinggal di Jakarta lalu memutuskan balik kandang. Pasutri ini mengisi hari-hari di kaki Gunung Raung yang sejuk dengan memperkenalkan beberapa permainan tradisional kepada anak-anak mereka yang tengah mengalami gegar budaya. Tak dinyana anak-anak sekitar ikut tertarik. Kian hari makin banyak yang datang untuk bermain. Saat itulah Supo dan Ciciek mengetahui bahwa banyak anak di desa mereka yang ditinggal ibunya bekerja sebagai TKW di luar negeri. Beberapa bahkan telah merantau selama belasan tahun dan meninggalkan anak mereka sejak balita. Kecamatan Ledokmbo yang didominasi suku Madura ini memang telah lama menjadi kantong buruh migran di Jember.
Sejumlah masalah sosial mengemuka: putus sekolah, KDRT, narkoba, AIDS dan lain-lain. Secara psikologis anak yang kehilangan sosok ibu memang lebih mudah terlibat masalah dibandingkan yang kehilangan ayah. Kaum adam secara umum memang tidak terdidik mengasuh anak. Namun muara dari semua problem ini adalah kemiskinan. Ciciek menengarai Ledokombo adalah wilayah tertinggal karena minim sumber daya. Biang utamanya, pembangunan langka dan aneka cap negatif yang sering tersemat kepada suku Madura sebagai warga mayoritas.
Namun Ciciek dan Supo perlahan membuktikan bahwa label tercela itu tidak sepenuhnya tepat. Tanoker, dalam bahasa Madura berarti kepompong, yang awalnya sebatas komunitas belajar & bermain dikembangkan menjadi kampung wisata. Dengan anak-anak dan remaja sebagai motor penggerak, wilayah ini mulai berbenah. Berbagai dampak positif bisa diraih. Selain meningkatkan kesejahteraan, warga sekitar khususnya anak-anak juga belajar hal baru karena sering berinteraksi dengan orang luar. Demikian pula pengunjung yang menerima manfaat dengan menikmati kesejukan alam desa dan bergembira melalui permainan tradisional.
Kini di usia ke tujuh Tanoker tumbuh dengan berbagai program pendampingan bagi warga. Bukan hanya anak-anak yang disasar melainkan juga kaum wanitanya. Tujuannya tentu agar mereka lebih memilih bertahan di kampungnya daripada mencari nafkah di luar. Tanocraft adalah salah satu contohnya, yaitu program peningkatan kapasitas melalui pelatihan kerajinan dan makanan. Hasil karya peserta Tanocraft selanjutnya dijual sebagai cindramata bagi pengunjung atau disalurkan ke luar daerah. Di sisi lain Tanoker pun makin mengepakkan sayap melalui Festival Egrang. Pentas tahunan tersebut berhasil menyedot pengunjung lokal, nasional bahkan internasional. Nama Tanoker juga makin lantang terdengar dan menarik kunjungan sejumlah tokoh dan liputan media.
“Tuhan juga memeluk mimpi anak buruh migran”, tukas Ciciek,”dan panggilan bagi kami mewujudkan mimpi itu”. Tak terasa air mata Ciciek menitik. Saya tahu ia memiliki hati yang lembut, sama seperti suaminya. Kalau tidak mana mungkin mereka akan bergerak sejauh ini. Pengalaman hidup juga lah yang membentuk jiwa sosial mereka. Ciciek contohnya, ia pernah aktif di sejumlah LSM kemanusiaan. bahkan saat ini ia masih aktif di AIDA atau Aliansi Indonesia Damai, sebuah organisasi pendampingan korban bom. Tak terasa segelas teh di hadapan saya sudah dingin dan mendung kelabu mulai menggelayut. Saya berpamitan dengan Ciciek sebelum hujan menerjang.
“Dua puluh tahun lebih dan nyaris tak ada perubahan di tempat asal saya ini”, celetuk seorang penumpang di samping ketika saya berkereta pulang. Anak muda ini bersama teman-temannya hendak merantau ke luar kota. Tembakau memang daun emas tapi itu seolah tak cukup bagi mereka yang berlimpah mimpi. Salah seorang dari mereka bahkan tak ragu menuding tembakau sebagai paradoks.”Kenapa harus sekolah tinggi kalau lulus SD bisa cari duit di gudang tembakau”, celetuknya menirukan ucapan sang ayah ketika dulu ia memutuskan kuliah di Surabaya. Mayoritas remaja di dusunnya memilih kabur ke pusat-pusat peradaban. Bali salah satu idola karena jarak yang cukup dekat. Tak heran banyak kendaraan bernopol DK berkeliaran di jalanan. Kehadiran beberapa perguruan tinggi masih tak memuaskan hasrat. Saya tercenung curiga. Mungkinkah Jember tengah menghadapi masalah laten nan klasik: eksodus generasi muda. “Tapi saya berjanji suatu saat pasti pulang untuk membangun desa”, pungkasnya.
Saya memandangi sawah nan hijau terhampar di balik jendela. Namun dalam kepala gaduh dengan obrolan pemuda-pemudi ini melebur dengan segala hal yang saya raup selama lawatan di bumi pandhalungan. Jember dengan pesonanya tengah resah dan sudah sepantasnya. Terbaring di pulau utama negeri ini bukan jaminan kemajuan. Ia seolah masih ternafikan oleh pembangunan. Namun bukankah resah gelisah yang membuat manusia berubah, saya ber-khusnudhon. Dalam doa keselamatan saya menitip harap agar negeri pandhalungan terus bergairah untuk berbenah, ke arah yang apik tentunya. Dan semoga anak muda ini menepati janjinya. Karena berharap yang terbaik memang tak pernah salah.
saya fokus ke foto2 nya hehee, pakai kamera apa tuh
Campur2 antara can*n dan so*y. Tapi kamera apapun sebenarnya gak masalah.
pakai sony apa bro ??
sony nex
mantappp..
Peringkat kedua dengan kenakalan remajanya dan peringkat 3 perceraian terbanyak se jawa timur … 🙂 Jember dari sudut yang berbeda 🙂 thanks mas widi, banyak pelajaran yg aku ambil dari tulisan mas widi
begitulah. semoga segera memperbaiki dirinya