It’s almost three hours since we left Goa beach, the port where our boat began on cruise. The white mounds which looks like a hill stands out from the blue sea is getting closer. So small, but it was enough to make us excited. The boat approached slowly. “Byuurr …” . I was still on my clothes when Tui and Jing thrown theirself into the turquoise sea. They are my new friends from Australia and Singapore which seems quite often doing snorkeling. While this was my first time. Fear and panic attacked. But it slowly vanished when I saw the underwater world down there. Beautiful corals and colorful marine animals are truly stunning. “Rayyan, come on. Join us! “, I shouted to Rayyan, another new fellow from Malaysia. But he remained on board. Looks like he worried would have difficulty to get on board if he join to the water because he is fatty and fairly high gangplank. The flying fish is one of sea creatures which fascinating me. They jumped and flew over the water for a few seconds. Another one, I dont know the name but it is blue-striped and glittering. The ecosystem in here looks still natural and well preserved. After a while I landed on the mound. I thought it was sand, it turns a pile of sea coral. The locals called it as Takat Sagele. From here I can see the crystal clear water. Even our boat looks like being floated. An hour later, Chin, our guides called. Time to anchored to the main island, Moyo.
We had a lunch on one of local’s house not far from Labuan Haji, a port where our boat docked. From terrace we can see the long stretch of beach. I saw a group of children playing on the beach. They jumped from a small fisherman boat into the water. Some of them were swimming and hunting marine animals. For a moment my mind flashed back to the image of big city kids with their gadgets and play it all the time. They should have more playing with nature just like these Moyo kids did. Shortly we walked to Diwu Mba’i waterfall located in Brang Rea village. Diwu Mba’i means pond of crocs. The myth said once it was a crocodile nest. Hmm, quite creepy. On the way Chin told me that the residents of the island of Moyo is Mbojo tribe majority earn a living as a fisherman. Farmer or any other profession are just a few.
I heard the sound of water gently rumbling. Finally we arrived. Some locals and foreign tourists already there. They’re having an adrenaline rush by swinging using a rope attached to a big tree and then jumping into the pool below the falls. Honestly I am not that brave. But I did not miss the chance to bathe in the pool at the same time cleaning up my sticky skin. Tui and Rayyan also did the same thing. While Jing finally braved herself to swing and jump in. “Woohooo …. !!” So he shouted aloud. Ah, I wish I have that guts. But never mind. At least I am satisfied with my cheerfully wet here.
The sun slightly tilted to west when the ship left Labuan Haji. Chin is still talking to someone on his cell phone. We’re still wondering. Do we go home or still stop by the next destination. Having finish his conversation, Chin has the answer. Our next spot is somewhat special. An area which is still situated on the island of Moyo and the location one of the most expensive resort in Indonesia, the Amanwana. It is part of the four Aman resort group networks. Amannusa and Amandari are in Bali while the other one is Amanjiwo in Magelang, adjacent to the temple of Borobudur. Suddenly I remembered an article in a travel magazine which is written that Amanjiwo is the most expensive resort in the country. It’s president suite rooms rates for seven thousand USD per night. Still according to the article, one thing that makes these rooms so costly is the exotic views when the sun rises behind the peak of temple. This fact was revealed after the arrival of the football celebrity David Beckham on 2006 as a guest of the resort. The Amanwana have their own celebrity too. Two world famous have been here, Mick Jagger and the late Lady Diana. It makes me understand when Chin told me that Amanwana do allow guests to just sightseeing without overnight but only under certain conditions, namely when they are in low season in order to maintain customers privacy. That means we’re in luck. I am quite curious about what it would be like and how much does the cost of the resort which according to Chin it still far more “cheaper” than Amanjiwo.
A modified jeep picked and drove us from the private port to the resort. We passed an offroad route through the woods which inspires the resort’s name. Aman in Sanskrit means peace and Wana means forest. Having ten minutes trip, finally we arrived. The group were greeted by Hendra, one of the supervisors who were on duty. He tells the story of the resort where he worked. But other things distracted me, a calm white sandy beach, neat gardens and few small huts with a roof shaped like a tent scattered along the beach. I did not heard Hendra’s words but an information which Amanwana founded in 1993 by Adrian Zecha, a Czech property developer. But recently majority owned by Russian businessman, Vladislav Doronin.
We arrived at one of the fancy huts and Hendra allowed us to take a look inside. I do not know the brand and price. But I was sure both room design and interior so artistic and definitely expensive. Tui, Rayyan, Jing and I had the same curiousity. Hendra like already knew our thoughts. We have not asked yet and he mentions a thousand fifty US dollars rate per night for the house near the beach and nine hundred fifty for the farther one. Luxury resort, exclusive services, serene atmosphere, beautiful scenery are their main asset. Not to mention private helipad, ports and speed boats for transporting the guests. This place is designed for the tranquility hunters and top level money makers as the super-rich businessman or first-class celebrities.
The afternoon arrived when our seven-crews boat cruises back to Sumbawa. This short journey made me more curious about Moyo. I hope to come back and explore more and deeper. Until then, I can only leave this beautiful island to the God’s preservation.
***
Sudah hampir tiga jam kami meninggalkan pantai Goa, pelabuhan tempat kapal mengawali perjalanan. Gundukan putih itu terlihat seperti bukit yang menonjol keluar dari birunya laut dan nampak makin jelas. Sangat kecil, tapi itu sudah cukup membuat kami antusias. Perlahan kapal mendekat. “Byuurr…”.Saya belum selesai melepas baju dan Tui dan Jing sudah melemparkan dirinya ke laut berwarna biru kehijauan itu. Dua kawan baru asal Australia dan Singapura itu sepertinya sudah cukup sering ber-snorkeling. Sementara inilah pertama kalinya bagi saya. Rasa takut dan panik menggelayut. Tapi perlahan sirna ketika saya melihat sendiri alam bawah laut disitu. Aneka koral yang begitu indah dan bermacam hewan laut penuh warna itu sungguh mempesona. “Rayyan, come on. Join us!”, saya berteriak ke Rayyan, kawan blogger dari Malaysia. Tapi ia memilih untuk tetap di atas kapal. Sepertinya ia khawatir akan mengalami kesulitan naik lagi ke kapal jika ia ikut snorkeling karena badannya gemuk dan tangga kapal yang cukup tinggi. Dari sekian banyak makhluk laut tersebut, yang paling menarik perhatian saya adalah ikan terbang.Ikan tersebut melompat dan terbang rendah di atas laut selama beberapa detik. Satu lagi, saya tak tahu namanya tapi berwarna biru dan mengkilat. Ekosistem laut disini sepertinya masih sangat alami dan terjaga. Setelah beberapa saat saya mendarat di pulau kecil itu. Saya pikir itu adalah pasir, ternyata kumpulan karang laut. Warga sekitar menyebutnya sebagai Takat Sagele. Dari sini saya bisa melihat beningnya air laut. Bahkan kapal kami tampak seperti melayang. Kira-kira satu jam kemudian, Chin, pemandu kami memanggil. Saatnya berlabuh ke pulau utama, Moyo.
Kami makan siang di rumah salah satu warga yang tak jauh dari Labuhan Haji, tempat kapal kami bersandar. Dari teras kami bisa melihat pemandangan pantai yang terbentang panjang. Tampak sekelompok anak kecil asyik bermain di pantai. Mereka melompat dari sebuah perahu kecil ke dalam air. Ada juga yang berenang dan berburu hewan laut. Sejenak pikiran saya terbang ke imaji anak-anak kota besar yang lebih asyik dengan gawainya. Harusnya mereka lebih banyak bermain dengan alam seperti anak-anak Moyo ini. Tak lama kemudian kami berjalan kaki menuju air terjun Diwu Mba’i yang terletak di desa Brang Rea. Diwu Mba’i artinya kolam buaya. Dulu konon katanya di di air terjun ini tempat sarang buaya. Hmm, cukup menyeramkan. Di tengah perjalanan Chin bercerita bahwa penghuni pulau Moyo adalah suku Mbojo yang mayoritas mencari nafkah sebagai nelayan. Hanya sedikit saja yang bertani atau menjalani profesi lain.
Saya mendengar suara air bergemuruh. Akhirnya kami tiba di tujuan. Beberapa warga lokal dan turis asing sudah berada disitu. Mereka memacu adrenalin dengan berayun menggunakan sebuah tali yang terikat pada sebuah pohon besar lalu melompat ke dalam kolam di bawah air terjun. Jujur nyali saya tak sebesar mereka. Tapi saya tak menyiakan kesempatan untuk merasakan segarnya air disitu sekaligus membasuh badan yang lengket. Tui dan Rayyan juga memilih hal yang sama. Sementara Jing akhirnya memberanikan diri untuk mengayun dan melompat ke dalam kolam.”Woohooo….!!” Begitu teriaknya. Ah, andai saja saya seberani itu. Tapi tak apa. Yang penting saya sudah puas berbasah ria disini.
Matahari sedikit miring ke barat ketika kapal meninggalkan Labuhan Haji. Chin masih berbincang dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Kami masih bertanya-tanya. Apakah kami langsung pulang atau masih mampir ke destinasi berikutnya. Menyudahi perbincangannya, Chin memberikan jawaban. Tujuan kami selanjutnya memang terbilang tidak biasa. Sebuah area yang masih terletak di pulau Moyo dan menjadi tempat berdirinya kompleks salah satu resor termahal di Indonesia, Amanwana. Resor ini menjadi salah satu dari empat jaringan grup resor Aman. Dua berada di Bali yaitu Amannusa dan Amandari sedangkan satu lagi yaitu Amanjiwo di Magelang, berdekatan dengan candi Borobudur. Tiba-tiba saya teringat sebuah artikel di majalah wisata yang menyebutkan bahwa Amanjiwo adalah yang resor paling mahal di negeri ini. Kamar president suite yang paling mahal mencapai tujuh ribu US dolar per malam. Masih menurut tulisan yang sama, ada satu hal yang membuat kamar-kamar tersebut berharga fantastis, pemandangan eksotis matahari terbit dari balik puncak stupa Borobudur. Fakta ini terungkap pasca kedatangan pesohor bola David Beckham tahun 2006 yang lalu sebagai tamu resor tersebut. Amanwana pun tak mau kalah. Dua pesohor dunia pernah berkunjung kesini, Mick Jagger dan mendiang Lady Diana. Saya menjadi maklum ketika Chin bercerita bahwa Amanwana memang membolehkan tamu untuk sekedar datang melihat tanpa menginap namun hanya dalam kondisi tertentu yaitu ketika mereka sedang sepi demi menjaga privasi pelanggan. Itu artinya kami sedang beruntung. Saya jadi cukup penasaran akan seperti dan semahal apa resor ini yang menurut Chin masih jauh lebih “murah” daripada Amanjiwo.
Sebuah mobil jeep yang sudah dimodifikasi menjemput dan mengantarkan kami dari pelabuhan pribadi Amanwana menuju lokasi resor. Kami melalui jalanan offroad menembus hutan. Dari sinilah resor ini mendapatkan namanya. Dalam bahasa sansekerta Aman berarti damai dan Wana berarti hutan. Setelah sekitar sepuluh menit akhirnya kami sampai. Kami disambut oleh Hendra, salah satu penyelia yang sedang bertugas saat itu. Ia bercerita seputar resor tempatnya bekerja itu. Tapi pantai pasir putih nan tenang, taman yang tertata rapi dan bangunan resor yang tersebar sepanjang pantai berbentuk rumah kecil dengan atap mirip tenda terlalu menyita perhatian. Saya hanya mendengar bahwa Amanwana didirikan tahun 1993 oleh Adrian Zecha, salah seorang pengusaha properti asal Ceko. Namun saat ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh pengusaha asal Rusia, Vladislav Doronin.
Kami tiba di salah satu bangunan resor dan oleh Hendra diizinkan untuk sebentar masuk ke dalam. Saya tak tahu merk dan harganya. Tapi satu yang jelas, desain ruangan dan interiornya bernilai seni dan pasti mahal. Saya, Tui, Rayyan dan Jing memiliki penasaran yang sama. Hendra seperti sudah tahu pikiran kami. Belum sempat kami bertanya, ia menyebut tarif per malam seribu lima puluh dolar amerika untuk resor yang berada dekat pantai dan sembilan ratus lima puluh dolar amerika untuk resor yang terletak sedikit lebih jauh dari pantai. Resor mewah, pelayanan eksklusif, suasana yang tenang, pemandangan indah adalah aset utama mereka. Ditambah lagi fasilitas helipad, pelabuhan dan kapal cepat pribadi untuk transportasi tamu. Tempat ini memang didesain bagi mereka pemburu ketenangan tingkat tinggi dan tak bermasalah dengan uang seperti pengusaha super kaya atau selebritis kelas wahid.
Sore tiba ketika kapal berawak tujuh kami melaju pulang ke Sumbawa. Sejenak menjejak membuat saya hanya bisa menyimpan penasaran akan Moyo. Saya berharap untuk kembali datang serta menjelajah lebih banyak dan lebih dalam. Dan hingga saat itu tiba, saya hanya bisa menitipkan pulau cantik ini pada Yang Diatas agar tetap terjaga.
Keren kaq…sll iri dgn tulisn dua bhsa ini…ganbatte ne..:)
Masih pake inggris versi gugel kok. he2..
saya kenal bapak yang ada didalam rumah tadi….
orangnya ramah banget… 😀