Imaji Wakatobi Yang Tak Melulu Bahari (bag.1)

Imaji Wakatobi Yang Tak Melulu Bahari (bag.1)

Wakatobi terlalu lama bersandar pada bahari. Sementara daratannya yang penuh pesona masih menunggu untuk dijamah. Akankah sang pionir wisata laut berubah?

***

Udara siang itu membuat baju saya basah oleh keringat dalam sekejap. Aroma laut menyelinap di ruang udara walau tak nampak asalnya. Mobil melaju kencang di jalanan membelah padang rumput Batu Kapal. Nama itu mengambil salah satu bukit batu di situ yang menyerupai kapal terbalik. Setibanya di pusat keramaian di Wanci, perasaan janggal hadir. Tak nampak turis berkeliaran atau kafe bertebaran. Saya tak merasakan aura destinasi wisata prioritas, status yang disandang Wakatobi sejak awal 2018 lalu.

Perkenalan pertama saya dengan Wakatobi, singkatan nama empat pulau; Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, terjadi di masa kecil saat rajin bermain monopoli. Namanya tertulis di kotak sisi kanan bawah bersanding dengan Bali. Penggemar monopoli pasti paham posisi tersebut menjadikan keduanya bernilai sangat mahal. Wajar jika kemudian yang terlintas tentang Wakatobi tak jauh beda dengan Bali yang turistik itu. Di kunjungan kali pertama ini, yang terlihat jauh dari yang terbayang. Wakatobi tak seperti kotak mahal di papan monopoli. Saya mulai bertanya-tanya.

Wakatobi adalah pionir. Jauh sebelum Raja Ampat, Alor, Labuan Bajo, Togean dan sejenisnya santer terdengar, ia telah mengumandangkan namanya sebagai destinasi selam populer. Wakatobi memang acap disiarkan sebagai surga bahari. Ketik Wakatobi di mesin pencari dan sepuluh halaman pertama berisi nyaris semua tentang laut.

Sekilas pemandangan bangunan di Wanci, pusat keramaian Pulau Wangi-Wangi.
Batu karang banyak dimanfaatkan untuk membuat bangunan atau struktur lain di Wakatobi
Reklamasi juga merambah Wakatobi. Di Wangi-Wangi, kegiatan pengurukan laut untuk pembuatan area ruang publik terhenti di penancapan tiang pancang.
Pemandangan sore di Batu Kapal, Wangi-Wangi
Berdekatan dengan pemukiman, pemandian alam Kontamale di Wangi-Wangi saat siang juga dipakai kaum perempuan untuk mencuci baju.
Dibangun sebelum masa kemerdekaan, mercusuar Wangi-Wangi harusnya bisa menjadi destinasi wisata yang menarik jika dipoles dan dibuka untuk umum.
Magnet Penarik

Overmarketing laut”, kata Guntur sambil menyesap kopi. Kami menghela malam dengan berbincang di markas komunitasnya. Pemuda lokal ini adalah pemandu selam sekaligus fotografer setempat. Obrolan malam ini menuntun ke salah satu jawaban pertanyaan saya. “Lahir awal 2000an, masih muda, Wakatobi butuh sesuatu untuk menarik perhatian. Laut dipilih sebagai jualan utama dan masih sering berlangsung hingga kini. Akibatnya yang di darat seolah tak tersentuh.”

“Lucunya, yang pertama kali mempromosikan Wakatobi justru orang luar” tukas pria 35 tahun itu. Kabupaten ini mulai dikenal saat sebuah resor asing memasang Wakatobi sebagai namanya. Berada di sebuah pulau kecil Tolandona tetangga dekat Pulau Tomia, Wakatobi Dive Resort menjadi magnet turis manca penggila diving. WDR yang eksklusif itu bahkan menjalankan sebuah bandara kecil di Pulau Tomia untuk melayani pesawat sewaan dari Bali. Pendirian taman nasional laut pada 1997 dan disematkannya status cagar biosfer dunia oleh UNESCO membuat Wakatobi makin kondang.

Minim Akses

“3A syarat utama pariwisata; attractions, amenities, dan access. Kita paling kekurangan yang terakhir,” kata Hugua Bupati Wakatobi dua periode (2006-2016) kala meresmikan Bandara Matahora di Pulau Wangi-Wangi pada 2016 silam. Ucapan tersebut terasa saat saya menjelajah empat pulau utama Wakatobi. Walau beroperasi tiap hari kapal sebagai moda utama penyebrangan kurang bisa diandalkan wisatawan yang sangat membutuhkan kepastian dalam mobilitas.

Beberapa kali saya mengalami peristiwa janggal; gagal menyebrang karena kapal disewa mengantar orang melahirkan, kru kapal yang lebih memilih acara pentas, hingga tujuan dermaga berubah di tengah perjalanan. Belum masalah keselamatan seperti penumpang harus berpindah kapal di atas laut untuk naik turun padahal sudah ada dermaga. Bagaimana dengan yang sepuh atau orang berkebutuhan khusus? Saya juga sempat naik kapal yang tidak dilengkapi pelampung.

Tantangan tak berhenti di situ. “Listrik 24 jam belum merata, sulit cari oleh-oleh dan sedikit yang bisa dinikmati di darat. Padahal ongkos ke Wakatobi tak bisa dibilang murah. Kecuali yang senang menyelam, wisatawan umum akan berpikir dua kali untuk datang,” seru Raiyani Muharramah seorang teman travel blogger yang sudah beberapa kali berkunjung ke Wakatobi.

Kapal meninggalkan Dermaga Waha, Tomia tak lama setelah matahari beringsut dari cakrawala.
Sejumlah penumpang kapal kayu dari Tomia menuju Wangi-Wangi mencari angin di geladak.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi penumpang kapal penyebrangan terutama di Kaledupa.
Kegiatan terbaik mengisi waktu selama dalam penyebrangan yang tak sebentar.
Binongko, Penghasil Parang Setangguh Karang

Saya mengawali penjelajahan dari paling ujung, Binongko yang terkenal dengan parangnya. Banyak warga pulau ini bekerja sebagai pandai besi, kegiatan yang dipercaya sudah dilakukan sejak berabad-abad silam. Bahkan di masa lalu Wakatobi disebut sebagai Kepulauan Tukang Besi karena tradisi ini.

Ada beberapa versi kisah tapi yang paling sering diceritakan melibatkan Pattimura. Bilah-bilah tajam Binongko memiliki bentuk khas, sama seperti yang dipegang oleh pahlawan dari Maluku itu di lembaran seribu rupiah. Beberapa menyebut Pattimura sebenarnya berasal dari pulau ini, terlepas benar atau tidak. “Yang saya tahu kakek dan ayah saya bekerja membuat parang. Selebihnya adalah hikayat yang dituturkan secara temurun,” kata La Awa salah satu pandai besi di Binongko.

“Kebanyakan dijual ke Maluku dan Papua. Bahan bakunya bekas onderdil mobil dari Surabaya”, jelas pria 55 tahun itu. Sowa, tempat tinggalnya bisa dibilang pusat pandai besi di Binongko. Suara pukulan logam bertaluan di segala penjuru desa ini. Menurut La Awa lebih dari seratus orang bekerja sebagai pandai besi di Sowa. Untuk merayakannya, Festival Pandai Besi digelar tahunan sejak 2016 lalu. Sowa jelas wajib dijejaki saat ke Binongko.

Melihat posisinya wajar Binongko jarang didatangi orang luar. Alamnya juga paling keras dibanding yang lain. Lanskap pulau ini adalah batu karang nan tajam. Air yang biasa dipakai warga berasa payau, memaksa mereka menampung hujan saat musimnya tiba. Namun di balik ini adalah daya tarik bagi penggemar petualangan apalagi alamnya sangat perawan. Salah satunya Pantai Yorro di utara. Tak seperti pantai bakau yang biasanya keruh, air di Yorro mengalir pelan bak sungai dan sangat jernih. Kombinasi dengan pepohonan rindang menjadikannya tempat pelarian bagi para pencari ketenangan.

Menikmati senja di Dermaga Palahidu, Binongko.
Wadah penampungan air hujan milik warga Binongko.
Diturunkan dari beberapa generasi sebelumnya, ketrampilan menempa besi di Binongko adalah tradisi yang menjadi kekayaan setempat.
Besi-besi yang tinggal selangkah lagi menjadi parang setangguh karang.
Potret Arwadin alias La Awa, salah satu perajin parang senior di Sowa, Binongko.
Pantai One Melangka dengan pasir putih memanjang, salah satu lanskap alam perawan di Binongko.
Remaja mementaskan tari tradisional Balumpa dengan irama gambus saat perayaan salah satu hari besar nasional di Palahidu, Binongko.
Sebagian besar kebutuhan logistik Wakatobi dipenuhi dari Bau-Bau menggunakan kapal penyebrangan yang ditempuh sekitar 10 jam
Warga Binongko rela menghabiskan waktu di luar rumah berjam-jam demi sinyal internet.
Suryono, salah satu pemilik dan pengemudi bentor di Binongko. Moda gerobak bertenaga motor adalah urat nadi mobilitas di pulau paling ujung Wakatobi tersebut.

Baca juga : Mengintip Dapur Mobil Hias Jogja

Kiblat Wisata Itu Bernama Tomia

Bergeser ke utara, Tomia terasa seperti pusat wisatanya Wakatobi. Homestay dan resor mudah didapat, yang paling terkenal WDR tentunya. Hampir semua pelancong dalam dan luar negeri yang saya temui selalu singgah di Tomia. Di Labore Stay tempat saya menginap, Fahmi sang pengelola bercerita banyak tentang pulau ini. ”Sebenarnya di pulau lain titik penyelaman juga banyak. Tapi karena yang mempromosikan Wakatobi pertama kali adalah WDR jadi Tomia lebih terkenal.”

Menurutnya ada alasan lain. ”Banyak pejabat atau tokoh lingkup Wakatobi atau Sulawesi Tenggara berasal dari Tomia”. Menjadi logis saya mendapati pulau ini akhirnya menikmati listrik 24 jam pada pertengahan 2018 lalu, lebih dulu setelah Wangi-Wangi yang juga ibukota Wakatobi. Jika melihat faktor posisi, harusnya Kaledupa lebih awal karena lebih dekat dengan Wangi-Wangi.

“Mungkin hanya Benteng Patua dan Puncak Kahianga,” jawab Fahmi saat saya melontarkan pertanyaan destinasi selain laut. Layaknya pulau lain, Tomia juga memiliki beberapa benteng peninggalan masa Kesultanan Buton. Tak pernah dijajah Belanda, benteng di Wakatobi bukan berupa bangunan semen melainkan tumpukan batu karang tajam yang disusun sedemikian rupa.

Patua paling terkenal di Tomia karena terbesar dan posisinya di atas bukit memungkinkan melihat laut utara dengan jelas. Setahun sekali berlangsung Festival Benteng Patua yang diisi kegiatan seni budaya. Selebihnya tak lebih dari situs tumpukan batu yang sepi cenderung mistis seperti yang saya rasakan dalam dua kali kunjungan. Sesungguhnya Patua memiliki daya tarik tersendiri terkait posisi dan sejarah. Sayangnya itu tertutupi oleh ketiadaan petugas dan minim papan informasi serta infrastruktur penunjang.

Salah satu cara menghabiskan waktu warga Pulau Tolandona, Tomia.
Kaum perempuan yang tergabung dalam Kelompok Tenun Para-Para memakai sarung tenun buatan mereka di Waha, Tomia.
Pantai Kolosoha yang sepi dengan pasir putih nan halus, ideal untuk bersantai di Tomia.
Potret anak-anak Tomia usai mengikuti upacara 17an.
Masyarakat Tomia memiliki kebiasaan yang disebut hedongka, yaitu memungut sampah yang terbawa gelombang laut ke tepi pantai. Material yang dipungut tersebut selanjutnya dipilah dan dimanfaatkan kembali sesuai kebutuhan.
Salah satu konsentrasi habitat terumbu karang berada di Pantai Kulati, Tomia . Lokasinya yang terpencil dan akses yang terbatas membuatnya tepat dijadikan sebagai konservasi alam.
Di Tomia lazim dijumpai makam-makam yang tidak terkumpul melainkan tersebar di mana-mana.
Anak-anak menonton film di Bioskop Bambu, salah satu kegiatan dalam Kreatifemba di Taman Hutan Bambu Kahianga, Tomia.
Pemandangan padang rumput luas di Puncak Kahianga, menggoda untuk diabadikan dalam bingkai sosial media.
Hamzain, salah satu perajin bambu di Desa Kahianga, Tomia.
Ferdiang Agung, kepala desa Tomia yang masih berusia 29 tahun.
Kaum perempuan Tomia dengan dandanan lengkap saat upacara 17an.
Sejumlah warga berburu tihou atau teripang saat laut surut di Pantai Lakota, Tomia.

Baca juga : Festival Pegon, Berlebaran Di Atas Gerobak Sapi

Potensi Lokal Tomia

Beralih ke sisi lain, Puncak Kahianga lebih ramai terutama saat sore. Bukit padang rumput ini adalah wahana ideal menikmati surya tenggelam. Sebuah jalan aspal akses utama menuju pemukiman di sisi timur membelah Puncak Kahianga. Rasanya ingin pelan saja menyusuri jalan ini demi menikmati pemandangan ciamik yang menggoda untuk diabadikan dalam bingkai instagram. Sementara itu hawa sejuk berhembus di sisi atas yang lebih banyak pepohonan terutama hutan bambu. Di sinilah Tomia baru saja mendapatkan magnetnya yang baru.

Siang itu beberapa warga berswafoto dengan latar berbagai instalasi dan ornamen artistik terbuat dari bambu. Yang paling ramai diserbu adalah lorong bambu dengan pintu masuknya berbentuk bintang. Sebelumnya tak ada yang istimewa dari hutan bambu di Desa Kahianga ini. Kehadiran sejumlah desainer yang datang atas nama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan warga sekitar mengubahnya  tampil cantik dan diberi nama Taman Hutan Bambu Kahianga.

“Tak mengira desa kami sebenarnya memiliki potensi besar. Hanya memang perlu kreasi dan kolaborasi”, kata Ferdi kepala desa setempat. Wajahnya kuyu, kantung hitam masih menggelayut di bawah matanya. Seminggu terakhir ia kurang tidur demi menggerakkan warga membuka lahan tak terjamah itu menjadi ruang publik baru. Puncaknya tadi pagi kala Bupati Arhawi meresmikan acara pasar tradisional di taman hutan bambu tersebut.

“Para desainer itu kami undang untuk berkolaborasi dengan perajin setempat. Harapannya ekonomi kreatif menjadi ladang baru yang menjanjikan sekaligus menunjang sektor pariwisata yang selama ini masih banyak bersandar pada laut,” jelas Nadar Kepala Dinas Pariwisata Wakatobi. Acara ini rupanya penutup kegiatan desainer dari Bekraf itu setelah tinggal di Wakatobi sekitar dua bulan. “Setelah ini tergantung masyarakat dan pemda untuk mengelolanya. Semoga kami bisa melanjutkan dan pemerintah tidak melepas begitu saja”. Nada optimis terpancar dari sang kades.

Selanjutnya klik disini

Indonesian-based photographer and story teller
11 comments
  1. Foto-fotonya cakep angle dan komposisinya ciamik

    Tulisannya sangat informatif sekali, semoga wakatobi terus berbenah tambah bersih dan nyaman bagi pengunjung

    1. Amin. makasih udah berkunjung mbak

  2. Ejie belom pernah euy kesana. Baru tau juga kalau yang membuat Wakatobi dikenal malah orang luar negeri yak?

    Eiya, salfok sama pak kades 29th! Ahhaahhah

    1. Tenang. kamu bukan orang pertama yg salfok. makanya sengaja dipasang fotonya. ha2…

  3. Aku baru tau kalau Wakatobi itu singkatan. Haha.
    Di sana, masih ada layar tancep ya mas?! Joss

    1. itu layar tancep cuma agenda kegiatan pas pameran aja

  4. Jadi ingat pantai atau pulau apa ya di Thailand yang ditutup selama berapa tahun untuk wisatawan karena keramaian turis dan bikin pulaunya rusak, jangan sampai Wakatobi juga tercemar ya

    1. oh iya, pernah denger juga sih. udah agak lama kan

  5. Wakatobi cantik banget semoga terus terjaga ya alam dan budayanya

  6. Suka sekali tulisan dan Fotonya. Bikin Makin pengen ke Wakatobi. Ga cuma laut , budayanya juga menarik. Plus pengen ikut nyuci baju di telaga Biru hihihu

    1. Wah jangan ikut nyuci. Tar jadi pemandangan awkward

What's on your mind