Kampong Blangkon Serengan, At Glance (Secuplik Tentang Kampung Blangkon Serengan)

Serengan Quarter located on south side of city of Solo, Central Java,  might not as popular as other urban settlement such as Kauman or Laweyan. However, the narrow alleys and crowded houses presents an interesting story. The dense region is known as Kampong Blangkon, a nickname for place-based community which many of the resident make a living as blangkon artisan. Blangkon is traditional javanese headdress worn by men and made of batik fabric.

The existance of small enterpise of blangkon in Serengan is a direct impact of the city’s history as one of Javanese political and cultural center in the past. The story shared orally tells 1960’s is the beginning of blangkon craft in the kampong. A local, Kasyanto, is believed as the pioneer. He is one of abdi dalem or royal servant of Surakarta Palace who have the skills to make blangkon. He acquired the craftsmanship by generations from the predecessor who also became royal servant. At the time he began to make the headgear with the help of two other quarter residents, Djazuli and Darso. Having years of experience, both then started their own business and employed other Serengan fellow men and so forth the home industries expand today. Kasyanto, Djazuli and Darso, are considered as the tree musketeer of the Kampong Blangkon of Serengan.

A glimpse view of Serengan.
Supardi employs three young man which also his neighbour as craftsman in the workshop inside his house.
Supardi, one of senior resident, employs three young man which also his neighbour as craftsman in the workshop inside his house.
Rubbing glue made of starch to klebut, blangkon wooden-print.
Drying wiron, blangkon main ornament from batik fabric.

Maju Utomo is one of blangkon craftsmen community in Serengan. Today the community founded in 2005 has around 24 business units of member. Maju Utomo’s main purpose is to empower it’s member so they will give the priority to each other due to excess in orders. According to the chairman Ananta Karyana, each unit has production capacity from 50 to 100 per day on average which mostly distributed to market and shop around Solo and surroundings. Sometimes they also receive orders from several regions such as East Java, West Java and Lampung. They put a price for the lowest quality on IDR 10k while the top around IDR 100k.

Serengan perhaps is a humble kampong regard to its earmark. Its existance and the particularity as Kampong Blangkon some how is fairly under the radar. However at least for now Serengan seems do not give a matter since their main attention is just blangkon, the (hopefully) timeless social and cultural identity at the same time the center of their living.

***

Kampung Serengan yang berada di sisi selatan Kota Solo mungkin tak sepopuler wilayah lain seperti Kauman dan Laweyan. Namun demikian dibalik gang-gang sempit dan tembok-tembok rumah yang saling berhimpit itu hadir sebuah cerita menarik. Wilayah padat ini dikenal sebagai kampung blangkon karena banyak warganya yang mengais nafkah sebagai pengrajin blangkon. Kampung Serengan secara administratif berada di Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Jawa Tengah.

Keberadaan industri blangkon alias penutup kepala khas Jawa skala rumahan di Serengan tak bisa dilepaskan dari sejarah Kota Solo sebagai salah satu pusat pemerintahan dan budaya Jawa di masa lalu. Cerita dari mulut ke mulut mengisahkan tahun 1960 an adalah awal mula kerajinan blangkon di kampung itu. Pionirnya adalah salah satu warga lokal bernama Kasyanto. Ia merupakan seorang abdi dalem Keraton Surakarta yang memiliki ketrampilan membuat blangkon. Keahlian tersebut didapatkannya secara turun-temurun dari para pendahulunya yang juga menjadi abdi dalem. Saat itu ia mulai membuat blangkon dengan bantuan dua warga lainnya, Djazuli dan Darso. Setelah memiliki bekal pengalaman yang cukup, keduanya lalu membuat usaha blangkon sendiri dan merekrut sesama warga Serengan yang lain dan begitu seterusnya usaha ini berkembang sampai sekarang. Kasyanto, Djazuli dan Darso, tiga nama inilah yang dianggap paling bertanggung jawab sebagai hulu sejarah Serengan sebagai kampung blangkon.

Ananta Karyana inspects his product.
Some of the tools.
Drying blangkon in the quarter alley.
Ready to sell.

Paguyuban Maju Utomo adalah salah satu wadah para pembuat blangkon di Serengan. Saat ini paguyuban yang didirikan pada 2005 tersebut menaungi sekitar 24 unit usaha. Maju Utomo dibentuk dengan tujuan pokok agar para anggotanya selalu mendapatkan order. Maka wajar jika para anggota Maju Utomo akan memprioritaskan sesamanya jika sedang menerima pesanan berlebih. Menurut Ananta Karyana, ketuanya, rata-rata masing-masing unit usaha anggota Maju Utomo memiliki kapasitas produksi 50 sampai 100 blangkon per hari. Dari jumlah itu sebagian besar didistribusikan ke sejumlah pasar di Solo dan sekitarnya. Kadang mereka juga mendapatkan pesanan dari beberapa daerah seperti Jawa Timur, Jawa Barat dan Lampung. Untuk kualitas paling bawah dihargai sekitar sepuluh ribu rupiah sedangkan kualitas terbaik berada di kisaran seratus ribu rupiah. Yang membedakan adalah jenis bahan yang dipakai dan teknik pembuatannya.

Boleh jadi Serengan adalah contoh kampung tematik yang menarik namun rendah hati. Keberadaannya dengan ciri khas sebagai kampung blangkon bisa dibilang cukup jarang terendus radar publikasi. Namun Serengan seolah tak peduli karena setidaknya bagi mereka saat ini denyut utama kampung ini adalah blangkon, identitas kultur dan sosial sekaligus penggerak ekonomi utama yang (semoga) tak lekang digilas zaman.

Indonesian-based photographer and story teller
5 comments
  1. Menarik! Jadi pengen beli blangkon lagi 😀

    1. aku malah ra duwe blas

  2. aku lebih sering pake peci dari pada blankon sekarang di acara2 pernikahan.. 😀

    1. saya malah ga pernah pakai penutup kepala apapun

      1. hehe..kadang saya pake pomade jg biar klimiss wkwkwk

What's on your mind