The Daredevil’s Diary (Secuplik Kisah Penunggang Maut)

The Daredevil’s Diary (Secuplik Kisah Penunggang Maut)

The roar was deafening. The smell of gasoline filled the air. Some of the spectators cover their ears and noses, while looking downward. Meanwhile Eko Purwanto, Jumari and Maulana Putut Kuncoro prepare themselves at the bottom of the barrel. Eko and Ari were set with their RX King. The motors has amputated mufflers and no brakes. Both starting at the center base, they ride the bikes circling a barrel-shaped wooden cylinder with size 6.5 meters of height and 5 meters of diameter. Slowly they ascend closer to rim and swiftly grab the saweran (stage tips) waved by the crowd.

After several rotations, Eko and Ari performed another stunt. They put their hands in the air, Eko sat sideways. The crowd grows tense as Putut joins in. Not for long they circle the barrel while holding each other’s hands. Some of the visitors looked nervous as they continue to perform other thrilling stunt, moreover without any safety equipments on their bodies. Six minutes passed, the stunt performance ends. The crowd gives an applause and the riders answer it by waving their hands. The session is over but they still have a long night, until the crowd dies down.

1.IMG_6814_editWM
The color of carnival.
2.IMG_7087_editWM
Grabbing the stage tips.
4.IMG_7369_editWM
Ari also serves as MC.

The Wall Of Death is a common attraction in a carnival. Along with the ferris wheel, the wave, swinging boat etc, they are the heart of the show.  Eko, Ari and Putut had been part of the show because of one reason; they’re adrenaline junkies. Eko, 30 year old, is the senior. He joined the Berkah Ria carnival group, which has had several shows since seven years ago, and has been his first experience as part of the carnival. The Kebumen native, previously, was a local drag racer. Had had ventured with several groups, finally he returned back to his initial this year. Meanwhile the 19 years old Ari, Klaten native, made his career since 2011 and the same aged Putut, just joined the group last year. Both prior were street racers.

As they satisfy their tempestuousness, at the same time, they must face the consequence to live as nomads. Just a month ago they performed in Solo for two weeks, now they have to reside for six weeks at alun-alun (town square) in the center of Jogjakarta city. Next, they will travel around Central Java for another show. Ari and Putut brought their wives along with them for a practical reasons, while Eko left his wife and two kids at home. The two teenager’s wives has also become part of group as employees.

5.IMG_7305_editWM
Putut with his hands-free riding.
6.IMG_7244_editWM
Also serves as mechanic.
8.IMG_7349_editWM
Today’s sale.

Berkah Ria itself applied an official ’employee’ status to all of their human resources. Ticketing and entrance officer are considered as employees, while performers’ main job is to perform within the show. Both status’ are paid daily but have different fees. Employees have a fixed amount while the performers have the fluctuating salary, depending on the ticket sales. The Wall of Death’s performers obtain a 25% revenue exclude stage tips . On their best days, they’re able to earn 8 to 10 million rupiahs per night. But at a low, performers might have to pocket only ten thousand rupiahs, the worst, unpaid. Luckily, considering the concerning conditions, they still survive with only minor injuries. The most fatal accident had only cause external bleeding and bruises.

The daredevils may have extraordinary guts but they also dream about calmer life. Eko, for example, just started a clothing business with his wife. Putut and Ari looks to have the same view, but they just don’t know how to start. “It’s been my life, mas. I love to be on the motor. But I could not keep this up forever. Just don’t know what it would be like if it all ends. May god kindly give me an idea suddenly. haha..”, Ari said. Perhaps both are too young and wild to think about tranquility, even though it does crossed their minds sometimes. Whatever choices they are destined to take, they will still roll their life in line with the wheel of their bikes, at least for now.

The article has been published on Chip Foto Video magz, Feb ’16 edition.

10.IMG_7211_editWM
Home sweet home.
11
Going to shower.
12
Extra job as the rain falls.
14
Get prepared.

***

Suara raungan itu memekakkan telinga. Aroma bensin bercampur oli menyeruak.  Beberapa penonton menutup telinga dan hidung sambil memandang ke bawah. Sementara itu di bawah sana Eko Purwanto, Jumari dan Maulana Putut Kuncoro bersiap. Eko dan Ari masing-masing sudah menaiki motor RX King tanpa rem dan knalpot yang dipotong. Keduanya memacu gas dan mulai melaju mengelilingi papan kayu vertikal menyerupai tong berukuran tinggi 6,5 meter dan diameter sekitar 5 meter. Perlahan mereka naik ke atas mendekati penonton dan sigap menyambar lembaran rupiah yang dijulurkan.

Beberapa putaran berlalu, Eko dan Ari  menunjukkan ketrampilan sekaligus keberanian mereka melepas kemudi. Eko bahkan duduk menyamping. Penonton dibuat semakin berdegub saat Putut bergabung melakukan atraksi memakai sepeda onthel. Kini ketiganya mengelilingi tong bersebelahan sambil saling berpegangan tangan, membuat pengunjung semakin deg-degan. Beberapa variasi atraksi lain juga mereka peragakan. Ketiganya melakukan aksi ketangkasan tersebut tanpa alat pengaman sama sekali. Setelah kurang lebih enam menit mereka menyelesaikan pertunjukan dengan kembali ke dasar tong. Penonton pun memberikan aplaus dan tiga pria itu membalas melambaikan tangan sambil melihat ke atas. Sesi kali ini telah berakhir tapi malam masih panjang karena Eko, Putut dan Ari masih akan terus berputar sampai tak ada lagi pengunjung pasar malam menghampiri wahana mereka.

15
Relax before the show.
16
Three in line.
17
A lot of guts to perform this.
18
Counting the tips.
19
Putut and his beloved.

Tong setan, atau juga disebut roda gila, adalah wahana atraksi ketangkasan yang lazim ditemui di berbagai pasar malam. Bersama dengan wahana lain seperti bianglala, ombak asmara, kora-kora dan sejenisnya adalah denyut utama pasar malam yang didominasi pengunjung dari kelas menengah ke bawah. Eko, Ari dan Putut menjadi bagian dari denyut tersebut atas motivasi yang sama, mereka pecandu adrenalin. Eko, 30 tahun, adalah yang paling senior. Ia telah bergabung di grup usaha pertunjukan Berkah Ria yang memiliki beberapa wahana sejak tujuh tahun yang lalu. Pria Kebumen ini sebelumnya sering mengadu nasib sebagai pembalap drag race di kompetisi lokal. Sempat bertualang ke grup lain sampai ke Sulawesi, akhirnya ia kembali ke pelukan Berkah Ria. Sedangkan Ari yang masih berusia 19 tahun baru ‘berkarir’ sejak 2011. Putut yang berumur sama bahkan baru bergabung tahun lalu. Keduanya kebetulan sebelumnya sama-sama sering mengikuti balap liar.

Selain memuaskan hasrat uji nyali, mereka harus menemui konsekuensi sebagai pemain pertunjukan yaitu hidup berpindah mengikuti grupnya. Baru sebulan yang lalu mereka membuka wahana di sebuah pasar malam di Solo selama dua minggu lalu kini mereka menetap di alun-alun Yogyakarta selama sebulan ke depan. Setelah ini kehidupan akan berputar di pasar malam lainnya di sekitar Jawa Tengah, area operasi Berkah Ria. Kecuali Eko yang sudah memiliki dua orang anak, mereka menghadapinya dengan membawa serta istri masing-masing. Istri Ari dan Putut sendiri juga bergabung di Berkah Ria sebagai karyawan di wahana lain.

20
Putut.
21
Jumari a.k.a Ari.
22
Eko.

Grup pertunjukan seperti ini memberlakukan status pemain dan karyawan bagi sumber daya manusianya. Karyawan biasanya bertugas sebagai petugas loket atau penjaga pintu masuk. Sedangkan pemain bertanggung jawab menjalankan operasi wahana. Keduanya sama-sama dibayar harian namun karena tanggung jawab yang berbeda maka pendapatannya juga berbeda. Karyawan mendapat gaji nominal tetap. Sementara pemain tergantung jumlah penonton yang hadir. Untuk wahana tong setan para pemain mendapatkan seperempat dari total tiket yang terjual diluar uang saweran yang menjadi hak pribadi pemain. Saat ramai mereka bisa menjual tiket senilai 8 sampai 10 juta per malam. Tapi kalau sedang sepi seperti ketika hujan turun mereka bisa hanya dibayar sepuluh ribu rupiah atau bahkan tidak sama sekali. Beruntung dengan keadaan seperti itu mereka belum pernah mengalami tragedi fatal. Kecelakaan paling serius hanya membuat memar serta darah mengucur yang memaksa mereka absen satu atau dua hari saja.

Walaupun memiliki nyali di atas rata-rata namun penggila adrenalin ini juga merindukan kehidupan yang jauh dari keberisikan raungan mesin. Eko misal, yang bersama istrinya baru saja merintis usaha berjualan baju. Putut dan Ari juga sama. Hanya saja mereka belum tahu jenis usaha apa yang ingin mereka geluti. Darah muda keduanya seolah masih terlalu deras mengalir untuk memikirkan kehidupan yang lebih tenang walau sebenarnnya sesekali itu telah terlintas di benak. Apapun pilihan yang diambil takdir berkata bahwa roda kehidupan mereka masih akan terus melaju mengikuti putaran roda motor atraksi, setidaknya untuk saat ini.

Artikel ini telah dipublikasikan di majalah Chip Foto Video edisi Februari 2016.

Indonesian-based photographer and story teller
11 comments
  1. Foto-fotomu bercerita semua! Sukakkk. Seumur-umur cuma lihat tong setan dari luar aja, belum pernah bayar tiket dan ikut tegang nonton atraksi gila mereka. Alasannya sih sayang indera pendengaran. Tapi setelah lihat ini jadi pingin nonton juga. Mumpung Sekaten belum bubar hehehe. Sukakkk. Sukakkk 🙂

    1. Pertama kali masuk ke tong kuping langsung perih kayak ditusuk2. Sayang paru2 juga sih. Tapi lama2 akhirnya terbiasa. Ha2..
      Maturnuwun.

  2. Ulasan yang menarik mas, jarang – jarang juga ada yg mau mengulas kehidupan orang – orang dibalik layarnya. Thumbs up!

    1. halo yuzaku. terima kasih telah berkunjung.
      semoga menginpirasi. salam kenal

  3. Mantep banget mas ulasane, foto-fotonya support dan bercerita 🙂

    1. suwun sam. wah, urung keturutan dolan ngalam iki.

      1. Monggo lho Mampir Mas 😀

  4. Wow…atraksinya luar biasa, foto2nya juga bagus, serasa lihat langsung atraksinya

    1. Trima kasih sudah berkunjung. salam kenal 🙂

  5. Wih, that’s what i like being a photographer. bisa mengambil angle yang membuat orang lain memiliki sudut pandang dan pendapat yang berbeda. Good job!!! me like it!

    1. Halo, terima kasih udah beranjangsana. salam kenal

What's on your mind