Sapu Upcycle, From Trash To Cash (Dari Limbah Menjadi Berkah)

Sapu Upcycle, From Trash To Cash (Dari Limbah Menjadi Berkah)

The joglo (javanese traditional house) seems to be nothing special at glance, just an ordinary house. Yet there’s something inside. Looks messy but sightly thanks for an artistic touch. The most interesting is the activity takes place. The house which located on the outskirt of Salatiga City is a workshop place for upcycling waste into products with a environmental, functional and aesthetical value. And above all, economical. Not plastic, bottle, glasses, paper nor some other material which commonly used for recycling, it’s inner tube waste.

Their name is Sapu Upcycle. The community called thmselves as environmentalist artist. Understandble since their business meets the terms. Thanks to creative touch they repurpose inner tubes waste into many fashion items such wallets, bags, earings, bracelets, and others. Some of the Sapu’s key person are Sindhu Prasastyo as head manager and marketing promotions at the same time, Erika Firniawati at production section, Dodi Pratisto at product development area and Widiarti at finance.

The story began in 2006 as they were part of a bigger community called TUK (Tanam Untuk Kehidupan, planting for life). The community actively took part in environmental issue. Some of the member played a role in funding which one of the activity was recycling plastic waste into valuable items. And so they named themselves Sapu, literally means broom. The philosophy is the unity besides the function itself as a cleaning utility. In 2010 they decided to try another waste as recycled materials, inner tubes became a choice. After some research and experiment, they finally made wallets and pouch as first products. Then they produced other types of items from same material.

IMG_4987_editWM
Cutting the tubes into pieces.
IMG_5000_editWM
Polishing with turpentine oil. The same process will be applied to finished products.
IMG_5032_editWM
Attaching the zipper.

The creative process starts form sketching design while the production line begins with tubes washing using soap water. The waste itself mostly four wheel drive tubes collected from Semarang in average around 100 tubes per month. Afterwards the tubes dried under direct sun. The next step are cutting, sewing and gluing until it becomes a finished product. Cleaning using turpentine oil is the final one. Ten permanent workers and some additional men, depends on the volume of production are on the support to run the entire process. Thanks to these resources currently Sapu’s production capacity in total 700 items per month are on hands.

Problem is always come to life. Sapu have some of their own. Two are directly related to production. Only a few workers able to handle tubes since its specific characteristic. It means the workers are hard to found, even those with high experience handling leather which the most similar substance to rubber. Other problem is the fact they don’t have sewing machine specifically made for leather or rubber material. During the time they only count on modified conventional sewing machine. The seams actually are quite meet the requirement but the top quality should be obtained when using the specific one. Both things do not allow them to increase their volume significantly moreover it’s a handmade. The lack of government support is another challenge. Some times they encountered puzzling regulations which made them unwilling to deal with the government.

Thankfully it did not stopped the as they continued their act independently. Slowly their hard work began to paid off. Now their product has reached some of international market, europe especially such as France, England and Holland. It’s not a secret foreigners giving a much higher appreciation to art then locals. So not a surprise to find their biggest revenue comes from overseas. Even a webstore sapu.eu has launched by their international channel to support the european consumers.

IMG_5056_editWM
Pressing to cut the pattern.
IMG_5016_editWM
The pressing result.
IMG_5023_editWM
Combining with other materials.
IMG_5025_editWM
Semi finished.

Speaking about local market nowadays Sapu put their sale only in two cities, Yogyakarta at Via Via Cafe and Kedai Kebun Resto, and for Bali at Seniman Coffee, Rumah Sanur and Ginger Snap. The two cities were chosen because of theirs profound art society as well as main tourist destinations. They also frequently open a sale on many art and culture event such as Ubud Writer Festival in Bali.

Brilliantly done with tubes, now Sapu has expand their exploration area to webbing, army tents, and metal drums. Sapu Upcycle definitely is one of positive community thanks to the creative effort to combine their care to nature and artistic touch resulting an economic value. The next mission is to continue to upcycle to provide more benefits for both human and nature.

***

Bangunan yang sisi depannya mirip rumah joglo itu tampak biasa. Sekilas nyaris tak ada yang menarik tapi di dalamnya terdapat sesuatu yang berbeda. Walau terkesan berantakan rumah itu tetap enak dipandang dan terlihat artistik. Namun yang lebih penting adalah aktifitas yang berlangsung. Rumah yang terletak di pinggiran Kota Salatiga ini adalah tempat terjadinya rangkaian proses upcycling (menaikkan derajat) limbah menjadi barang yang memiliki nilai fungsi sekaligus nilai seni. Dan ujung dari semua itu, nilai ekonomi. Bukan botol, plastik, kertas atau barang lain yang sudah sangat umum menjadi obyek daur ulang, melainkan ban dalam.

Perkenalkan, Sapu Upcycle. Komunitas ini menyebut dirinya sebagai seniman pecinta lingkungan. Tak berlebihan karena apa yang mereka kerjakan dan hasilkan memenuhi kriteria tersebut. Berkat sentuhan kreatif mereka mengubah ban dalam bekas menjadi berbagai produk fesyen seperti dompet, tas, anting, gantungan kunci, dan sebagainya. Saat ini beberapa nama yang memiliki peran penting di Sapu adalah Sindhu Prasastyo sebagai orang nomor satu sekaligus mengurusi marketing dan promosi, Erika Firniawati di bagian produksi, Dodi Pratisto di bagian pengembangan produk, serta Widiarti di bagian keuangan.

Kisah mereka berawal dari sebuah komunitas bernama TUK, Tanam Untuk Kehidupan yang berdiri pada 2006. Mereka aktif melakukan berbagai kegiatan bertema pelestarian lingkungan. Beberapa anggota TUK bertanggung jawab mengurusi pendanaan yang salah satunya caranya dengan melakukan daur ulang limbah plastik menjadi barang bernilai ekonomis. Lalu mereka menamakan dirinya Sapu, mengambil filosofi sapu yang hanya bisa bersama untuk mencapai sebuah tujuan selain fungsi utama sapu itu sendiri sebagai alat untuk membersihkan. Di tahun 2010 Sapu memutuskan mencoba limbah lain sebagai bahan daur ulang. Ban dalam jatuh sebagai pilihan. Setelah melakukan beberapa riset dan percobaan, mereka akhirnya menelurkan produk pertama mereka berupa dompet dan tas kecil. Setelah itu mereka mulai bereksperimen dengan bentuk lain untuk menambah variasi produk.

IMG_5008_editWM
The workshop.
IMG_5096_editWM
Sewing.
IMG_5080_editWM
Making custom post-apocalypto costume.

Proses kreatif yang terjadi dimulai dari menggambar desain produk yang akan dibuat. Sedangkan jalur produksi diawali dengan pencucian ban dalam menggunakan air sabun. Materialnya sendiri didapatkan dari Semarang yang umumnya berupa ban dalam kendaraan roda empat. Saat ini rata-rata dalam sebulan mereka dapat mengambil sekitar 100 ban dalam dari kota tetangganya itu. Setelah itu ban dijemur di bawah sinar matahari sampai kering. Tahap berikutnya adalah memotong, menjahit dan merekatkan untuk menjadi produk jadi. Tahap terakhir yaitu membersihkan menggunakan terpentin. Untuk menjalankan proses produksinya Sapu mengandalkan sepuluh orang SDM aktif dan beberapa tenaga tambahan yang jumlahnya tergantung volume produksi. Berkat sumber daya tersebut saat ini Sapu memiliki kapasitas produksi total mencapai 700 produk per bulan.

Selalu ada masalah yang menjadi tantangan tersendiri dalam proses berkarya. Dalam hal ini Sapu menemui beberapa yang masih mengganjal. Dua diantaranya berkisar di bagian produksi. Tidak semua orang yang mahir menjahit dapat mengerjakan ban dalam karena sifatnya yang khusus. Pengalaman membuktikan lebih banyak penjahit yang menyerah, bahkan mereka yang sering menjahit bahan kulit sekalipun. Padahal kulit adalah bahan yang karakternya mirip dengan karet. Kedua, mereka belum memiliki mesin jahit khusus kulit atau karet. Selama ini hanya mengandalkan mesin jahit kain yang sudah dimodifikasi. Walaupun hasilnya cukup memuaskan namun mereka merasa hasil maksimal harusnya bisa dicapai jika menggunakan mesin jahit khusus tersebut. Langka dan harga yang tinggi menjadi akar permasalahan. Kedua hal tersebut membuat Sapu belum mampu menaikkan kapasitas produksi secara siginifikan apalagi jenis produk yang dibuat hampir semuanya bersifat handmade. Dukungan pemerintah yang minim juga menjadi tantangan tersendiri. Beberapa kali mereka terbentur dengan regulasi yang membuat mereka mengurungkan niat untuk mengandalkan pemerintah.

Alih-alih mengeluh, Sapu memilih untuk bergerak secara swadaya. Walaupun berat namun hasil yang manis mulai mereka rasakan. Kini karya mereka banyak diminati pasar luar negeri terutama eropa seperti Prancis, Inggris dan Belanda. Bukan rahasia kalau orang asing memang lebih menghargai barang-barang bernilai seni daripada sesama orang Indonesia sendiri. Maka tak mengejutkan jika sebagian besar omset Sapu berasal dari pasar luar negeri. Bahkan sebuah webstore sapu.eu dibuat khusus untuk memudahkan pemasaran di eropa.

IMG_5062_editWM
The work.
IMG_5131_editWM
The brand.
IMG_5168_editWM
Brilliantly handmade wallet.

Bagaimana dengan pasar lokal? Saat ini Sapu baru mengandalkan dua kota, Yogyakarta dan Bali untuk berjualan. Di Yogyakarta konsumen dapat membeli karya mereka di Via Via Cafe dan Kedai Kebun Resto. Sedangkan di Bali dapat ditemui di Seniman Coffee, Rumah Sanur dan Ginger Snap. Dua kota ini dipilih karena memiliki basis komunitas seni yang kuat selain juga sebagai daerah tujuan wisata. Selebihnya Sapu sering membuka lapak keliling dengan bergabung di berbagai kegiatan bertema seni budaya. Salah satu yang menjadi langganan yaitu Ubud Witer Festival di Bali.

Setelah merasa cukup berhasil kini Sapu melakukan eksplorasi terhadap limbah lain seperti tenda tentara, webbing (sabuk kontainer), dan drum logam. Berbagai usaha yang dilakukan ini layak menempatkan Sapu Upcycle sebagai salah satu contoh komunitas positif yang secara kreatif menggabungkan semangat pelestarian lingkungan dengan sentuhan artistik dan menghasilkan karya yang bernilai ekonomi. Sebuah harapan tersirat dari mereka untuk terus memberi manfaat yang lebih besar pada lingkungan dan manusia melalui daur ulang limbah. Manusia sejahtera dan lingkungan terjaga.

Sapu Upcycle merupakan kabar baik untuk Indonesia yang bisa dicontoh komunitas lain. Siapa sangka dibalik niat mulia nan sederhana mereka mendapat pengakuan yang bahkan datang dari konsumen internasional. Semoga akan terus lahir inovasi daerah yang mengharumkan dan membanggakan.

IMG_5123_editWM
The products
anting
The earings

Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahkuhttps://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku

Indonesian-based photographer and story teller
11 comments
  1. Kreatif dengan hasil yang keren, jauh dari kesan barang tak terpakai yang dipandang rendah oleh masyarakat. Sempat cek harga di web-nya, semua pake dollar ya? Hahaha. Kalau ke showroomnya Sapu Upcycle langsung harga bisa lebih murah nggak?

    1. Pakai dolar ya karena jualan buat konsumen luar. Yang di Indonesia yo idr. Harganya sama saja. Mungkin bisa lebih murah kalau belinya wholesale. berminat? ha2..

  2. ah si akang, saya speechless liat artikelnya pake bahasa inggris *salah fokus*
    ajarin saya bahasa inggris kaaang.. 😀

    btw, keren banget yah sapu upcycle.. harus lebih banyak lagi UKM keren yg mendunia kayak gini supaya Indonesia makin maju.. go go go

    1. cuma pake eyang gugel trenslet kok. hi2…
      salam kenal. makasih udah mampir

  3. It’s cool… Keren pisan

    1. makasih. salam kenal 🙂

  4. Kreatif banget, yg tdnya limbah jd bernilqi tinggi

    1. Iya, karena mereka juga seniman yang biasa berpikir kreatif.
      salam kenal. makasih udah mampir.

  5. kereeeeennnn…boleh kenalan nggak sm yg design jewelerynya???

    1. Silahkan berkunjung langsung ke workshopnya aja

  6. bagus..menarik dan inspiratif

What's on your mind